Jumat, 12 Februari 2016

My Love is My Secret Admirer (I)

            Yippiiiiii…. Selesai juga perjuanganku selama 3 tahun di SMA ku tercinta ini. Banyak kenangan manis selama 3 tahun ini. Ah, tapi kenangan hanyalah kenangan. Tak perlu diingat-ingat, lebih baik memikirkan masa depan. Tanjakan universitas baru saja di mulai.
            ”Ra, foto-foto bareng yuk!! Terakhir nih.” Ajak Mona temanku.
            Kami baru saja selesai menyelenggarakan perpisahan sekolah di gedung Grand Hill. Biaya yang dikeluarkan pun tidak tanggung-tanggung muuuaahhhaallnya.
            “Hahaha, yuk yuk!!” aku mengikut Mona yang berlari ke arah luar gedung ini.
            Ddduugggssss ….
            Sepertinya aku menabrak seseorang. Aku menolehkan kepalaku ke orang yang kurasa ku tabrak itu. Betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa yang barusan ku tabrak adalah Kai. Orang yang selama ini aku suka. Tapi entah kenapa kami malah berjauhan dan sudah hampir setahun ini kami tak kunjung bertegur sapa.
            “Maaf, aku tidak sengaja” ucapku cuek dan berusaha agar tidak menatap matanya. Ku lirik sekilas, Mona malah tersenyum-senyum tidak jelas dari kejauhan sana.
            “Tidak Masalah.” Jawabnya ringan. Ku rasa, takkan ada lagi perbincangan setelah ini, jadi kuputuskan untuk melangkah pergi. Tapi, baru saja aku melangkah, sepertinya tanganku ada yang menarik ke belakang. Dan orang itu adalah KAI.
            “Eum Rha! Mau ngelanjut dimana?” ucapnya yang benar-benar tak pernah ku sangka. 1 tahun, dan baru hari ini, hari terakhir kami bersama dia berbicara padaku. Dan kenapa disaat terakhir seperti ini dia berbicara padaku? Kenapa? Walaupun masih dengan tatapan dinginnya, tapi tetap saja. It’s special word for me.
            “Em, belum tahu.” Jawabku gugup.
            “Ouh.” Hah, hanya oh, hanya itu. Ya ampun, kebiasaan sekali anak ini. Mending tadi gak usah negur aja sekalian. Buat sakit hati aja sih. Dari pada aku emosi tingkat menara eiffle mending aku pergi aja, gak usah tuh nyapa-nyapa dia lagi.
            Aku berlari ke tempat Mona sendirian dan tak menoleh ke arah Kai lagi. Tapi, kulihat Mona masih saja memandang lurus. Apa Kai masih ada disitu ya?
            “Kenapa lari?” tanyanya setelah sadar aku sudah ada di depannya.
            “Emang kenapa?” tanyaku balik.
            “Tidak ada apa apa. Tatapannya aneh ya, Ra.” Ucapnya menahan tawa.
            “Emang, kayak mau makan orangkan?” ucapku ketus.
            “Hahaha, santai aja lagi.”
            Aku dan Mona duduk di tangga-tangga kecil. Kami foto-foto ala narsisme. Bukan hanya kami, tapi masih banyak lagi yang foto-foto seperti kami. Bola mataku terus berputar-putar melihat banyak anak-anak yang asyik berfoto-foto. Namun detik berikutnya, mataku tertuju pada seorang anak lelaki yang mengenakan jas coklat. “Kai” batinku. Segera aku membuang muka, aku jadi teringat pada masa lalu kami yang sangat menyenangkan. Tidak seperti setahun ini, diam-diaman. Kayak gak ada kehidupan aja sih.
            “Ehm, katanya mau move. Kenapa masih diliatin terus?” Goda mona yang sudah tertawa geli.
            “Siapa juga yang ngeliatin setan setangah jadi itu?” ujarku malu.
            “Setan setengah jadi? hahaha. Apalagi itu? Ra, denger ya, sekuat apapun kamu berpikir untuk menghindarinya tapi kalau hatimu menolak, sama aja. Ini bukan matematika yang menggunakan logika, tapi ini perasaan.”
Aku hanya diam mendengar ucapan Mona, kurasa ada benarnya juga. Selama ini, aku sudah berusaha untuk menghindarinya, tapi.. kenyataannya malah sebaliknya.
“Entahlah!”
“Ya, terserah kamu.” Ujarnya lagi.
Aku terus saja ngeliatin dia dari kejauhan, terbayang dulu saat kami main bareng, gila-gilaan. Cerita bareng, curhat-curhatan. Klop banget deh, tapi sekarang? Malah kami bakalan terpisah lagi. Apa aku sanggup ya? Hmm,,, pasti bisa. Aku gak boleh tergantung dengan dia terus. Emangnya dia itu siapa? Sok kegantengan banget sih, tapi emang iyaa.
Kenal sama dia itu benar-benar anugrah, walaupun akhirnya sakit seperti ini, tapi aku tetap bersyukur pernah kenal sama dia. Mungkin memang inilah yang terbaik dari pertemuan kami ini. Aku tidak pernah menyesal kalau harus seperti ini. Selama sekolah disini, dialah yang menjadi penyemangatku selama disini. Walaupun dia tidak tahu itu, tapi itu tidak ada masalah kok.
Hari sudah menjelang sore, aku dan Mona pun akhirnya pulang meninggalkan gedung bersejarah ini. Lagi dan lagi, aku terus saja terbayang wajah Kai, menyadari bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bisa bersama dan  melihatnya.
Bla … bla …bla…
 Saat aku dan Mona berada di luar pagar gedung ini, aku melihat Kai tengah bersandar di pagar itu. ya ampun, bagaimana bisa dia tercipta sebegitu mempesonanya.
“Sst..” Mona menyenggol sikuku sambil tersenyum.
“Aku tau.” Jawabku ringan tanpa melihat ke arah Kai lagi.
Aku dan Mona berjalan melewati Kai. Tapi sialnya, dia malah menarik tanganku dan membuatku menghadap padanya.
“Boleh bicara sebentar?” ujarnya sambil menatap mataku intens.
“Tidak bisa! Aku mau pulang.” Ucapku tegas, berusaha mengendalikan perasaanku yang menggila ini. Sekilas aku melirik Mona menatapku dengan tatapan bodoh banget sih.
 “Hahahaha,” dia tertawa? Apanya yang lucu?
“Mau pulang? Cepat sekali. Aku aja belum pulang, masa kamu mau pulang duluan? Inikan hari perpisahan kita.” Ucapan yang benar-benar menyakitkan “inikan hari PERPISAHAN KITA”.
“Uda sore, aku capek.” Ucapku ketus.
“Dasar!! Yaudalah, hati hati ya.” Ucapnya dan mencubit pipiku, dan berlalu pergi.
Aku hanya melihatnya sampai dia masuk ke dalam gedung itu, barulah aku sadar bahwa pipiku benar-benar sakit. Aku lalu mengusap-ngusap pipiku yang malang ini.
“Bodoh apa gimana? Dia mau bicara dan kau tolak? Benar-benar tidak habis pikir.” Ucap Mona dengan nada kesal.
“Lupakan saja.” Jawabku sekenanya.
Aku dan Mona pun menyetop taksi yang lewat, dan langsung masuk ke dalamnya. Sekali lagi aku menolah ke gedung itu dan terbayanglah wajah Kai.
“Nhara!! Masuk dong!.” Teriak  Mona dari dalam taksi.
Selama di taksi aku hanya terbayang-bayang wajah kai. Taksi terus saja melaju di jalanan, jalanan begitu macet. Belum lagi sepertinya akan turun hujan, karena sudah sedari tadi petir dan kilat menyambar-nyambar. Dan tak ayal lagi, hujanmu turun mengguyur permukaan bumi ini.
Tiba-tiba …
Sreeettt …
Entah suara apa yang berbunyi itu, yang jelas taksi yang kami tumpangi sudah berhenti. Pak sopir langsung turun mengenakan payung untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi, aku dan Mona hanya menunggu di dalam taksi saja dan tak berniat untuk keluar.
“Dek, kalian cari taksi lain saja ya. Bannya bocor.” Ucap pak sopir setlah kembali masuk kedalam taksi.
Dengan malasnya aku dan Mona pun keluar dari taksi, dengan hujan-hujanan kami berlari untuk mencari tempat berteduh. Untungnya ada halte yang tidak jauh dari situ.
Sudah 15 menit dan hujan belum reda juga, daripada menyia-nyiakan waktu lebih baik aku mandi hujan saja. Akukan sangat suka hujan, paling nanti kalau ditanya mama kenapa basah, tinggal bilang kehujanan karena gak dapat taksi, emang bener kok.
“Mon, titip tasku ya.” Pintaku pada Mona yang sedang makan gorengan yang baru saja dibelinya.
“Kamu mau kemana Ra?” tanyanya seraya mengambil tasku.
“Mandi hujan.” Jawabku enteng.
Aku segera berlari ke taman yang berada di belakang halte ini. Lumayan luaslah.
Ku hirup udara yang benar-benar segar untuk paru-paruku, anginnya yang dingin benar-benar membuatku nyaman. Walaupun ada petir dan kilat tapi tetap saja ini menyenangkan, aku lalu membentangkan tanganku dan berputar-putar di taman itu. seperti anak kecil memang, tapi yasudahlah. Memangnya ada yang perduli?
            “Ehm!!...” Tiba-tiba ada suara yang sepertinya ditujukan padaku. Segera ku cari asal suara dan taaddaaa … suara itu adalah Kai yang sudah berada di belakangku.
            “Bukannya tadi kamu ada di gedung?” tanyaku karena kaget melihatnya.
            “Aku uda pulang, lalu melihat ada seorang perempuan yang baru saja tamat SMA sedang mandi hujan seperti anak usia 5 tahun. Untuk itulah aku disini.” Ejeknya.
            “OH!” ucapku datar.
            “Tadi katanya mau pulang, kenapa nyangkut disini?” tanyanya balik.
            “Ban taksinya bocor, jadi diturunin di halte itu.” ucapku dan menunjuk halte di depan sana.
            “Sendirian?” tanyanya lagi.
            “Tidak, aku sama Mona berdua.” Jawabku jujur.
            “Kan sudah kubilang, jangan pulang dulu. Gak nurut sih, makanya jadi sial begini, hahaha …” Ledeknya dan tertawa kekeh.
            “Terserah!”
           
            “Monanya mana?” tanyanya lagi.
           
            “Di halte, kenapa? Kangen?” ucapku sinis

            “Tidak.” Ucapnya datar

            Dia mengajakku untuk kembali ke halte, disana Mona sudah menunggu dengan beberapa bungkus makanan ditangannya.

            “Kai, Nhara?” tanyanya kaget

            “Aku ngeliat dia mandi hujan disana.” Jawab Kai. “Mon, rumah kamu dan Nhara searah ya?” tanya lanjutnya

            “Tidak, kami beda arah. Nanti aku turun di simpang 4 depan sana terus nyambung lagi, kalau si Nhara sih turun di depan rumahnya.” Jawab Mona.

            “Nhara pulang sama aku aja, kami searah kok.”

            Aku terbelalak dan langsung menatap Kai tidak percaya, ku lihat Mona sudah tersenyum-senyum menahan tawanya yang akan meledak.

            “hah?”

            “Hah? Hah? Apa? Mau protes? Tidak bisa!” protes Kai terlebih dahulu.

            Kami duduk bertiga di halte itu menunggu taksi lewat, bukan untuk kami melainkan untuk Mona. Hujan pun tak kunjung mereda malah semakin deras. Kai sibuk memainkan ponselnya, sedangkan aku sudah ngiler melihat air hujan yang semakin deras itu. Lalu Mona, sibuk dengan i-podnya.

            Ku lirik jam sudah menunjukkan jam 6 sore, yang artinya sebentar lagi bakalan malam. Aku was was kalau kalau sampai rumah sudah malam, pasti mamaku akan merepet. Untungnya, ayahku sedang berada di luar kota mengurus kerjaannya, kalau tidak pasti repetan untukku bakalan panjang.

            Akhirnya, sebuah taksi pun melintas. Aku benar-benar lega. Mona pun segera masuk ke dalam taksi itu, dia menurunkan kaca taksi itu dan melambaikan tangannya padaku dan Kai. Aku pun membalas lambaian tangan itu.

            “Naik!” Perintah Kai padaku agar segera naik ke keretanya.

            Kereta pun melaju di jalanan kota yang sedang diguyur oleh hujan, angin dingin pun menerpa hingga masuk ke dalam tulang. Aku menggigil kedinginan, di tambah lagi dengan dressku yang sudah basah oleh hujan. Untung-untung aku gak bakalan masuk angin.

            Ciiiittttt ….
            Suara decitan ban kereta ..

            “Inikan bukan rumahku.” Ucapku ketika Kai memberhentikan keretanya di depan sebuah rumah.

            “Emang bukan.” Jawabnya

            “Lalu?” tanyaku.

            Dia tidak menjawab, dia malah mencagakkan keretanya lalu turun, aku pun mengikuti apa yang dikerjakannya barusan. Dia lalu melepas jaket yang dikenakannya dan menyampirkannya padaku.

            “Naik!” perintahnya setelah dia sudah berada di atas keretanya lagi.

            Kami pun meluncur menerjang jalanan kembali, badanku sudah tidak menggigil lagi, ya walaupun masih dingin sih.

            Selang beberapa waktu, Kai pun kembali memberhentikan keretanya di depan sebuah rumah bercatkan putih. Tentu saja ini rumahku. Aku langsung turun dari keretanya dan menanggalkan jaketnya yang berada di badanku.

            “Makasih ya, ini mau dikembaliin sekarang atau nanti setelah dicuci dulu?” ucapku.

            “Ambil aja! Anggap aja kenang-kenangan dari aku.” Ujarnya manis.

            “Sebagai gantinya, aku minta cincin yang kamu pakai.” Ucapnya lagi.

            “Untuk apa?” tanyaku kaget karena dia meminta cincin yang aku pakai.

            “Untuk kenang-kenangan kamu buat aku.” Jawabnya sambil tersenyum.

            “Yasudah.” Balasku dan mencopot cincin yang melingkar di jari manisku.

            “OK!! Aku pulang ya Ra.” Dia pamit setelah incin itu sampai ditangannya.

            “Gak masuk dulu?” tawarku padanya.

            “Lain kali aja, Bye Nhara.” Lalu dia menancapkan gas keretanya.

            Hari ini benar-benar indah, setahun tanpa komunikasi lalu akhirnya kami berkomunikasi kembali, ini adalah mimpiku yang terwujud, gak sia-sia aku memimpikan hal seperti ini setiap malam, bahkan ini lebih indah dari yang aku mimpikan.

            ***
            Kai, aku tidak pernah tahu bagaimana bisa ada orang seperti dia. Dia adalah hadiah istimewa untuk ku. Aku cukup tahu diri untuk memintanya sebagai hadiahku, tapi aku tidak bisa bohong kalau aku ingin dia sebagai takdirku.

***
            Keesokan paginya, entah kenapa tiba-tiba ayah kesayanganku itu sudah berada di rumah dan menyuruh kami untuk berkumpul di ruang keluarga, ternyata ayahku pulang dari urusannya tadi malam, mungkin saat dia pulang aku sudah tertidur. Saat aku memasuki ruangan itu sudah ada mama dan ayahku yang sedang mengobrol, dari raut wajahnya, pasti ada sesuatu yang menggembirakan.
           
            “Ada apa sih ma? Kenapa kami disuruh kemari? Tumben sekali.” Tanyaku pada mamaku.

            “Ayah  di pindahkan tugas ke luar kota. Jadi ayah mau, kalian semua ikut pindah juga. Bagaimana?” terang ayah sekaligus memberikan pertanyaan baru.

            “Horee… Sheina ikut-ikut saja deh yah.” Sheina adikku bersorak gembira.

            “Kuliah Vino gimana yah?” tanya kakakku.                         

“Kuliah apa kak Tina?” godaku dengan menahan tawaan.
           
            “Ya kuliahlah!.” Jawabnya sewot.

“Hahaha… becanda kak, serius amat sih. Pindahnya kemana yah?” kini giliranku yang bertanya.

           “Hmm… “ ayahku hanya tersenyum-senyum tak jelas. Dia seperti memberikan kode kepada mamaku. Orang tua zaman sekarang, sikapnya aneh-aneh saja.

            “Kemana sih yah?” kini kakakku itu yang berkoar.

            “Kita pindah keluar negeri.” Ucap mamaku sambil tersenyum.

            “Hah?” serentak aku, Sheina dan kak Vino.

            “Tepatnya dimana?” tanyaku penasaran.

            “Korea Selatan, Seoul.” Jawaban yang benar-benar menakjubkan? SEOOOUULLL I’m comiiiinngg… Kota impianku, Negara favoritku. My DREAM IS COME TRUUUEEE….. horeeeee… aku terlonjak kaget dan menciumi ayah dan mamaku. Aku benar-benar senang, gembira dan terharuuu.

            “Kita berangkat minggu depan, kalian bersiap-siaplah. Sheina, kamu nanti bersekolah di Hannyoung High School, Nhara di Konkuk University, Vino juga disitu ya. Ayah sudah siapkan semuanya. Jadi kalian tinggal belajar saja bagus-bagus.”jelas ayahku.

            “OK BOS!!” ucap kami serentak.

            Aku berhambur masuk ke kamarku, meloncat-loncat di tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka akan pergi ke kota yang selalu menjadi topic mimpiku setiap malam. Lalu aku mengambil buku jurnal Korea yang sengaja aku beli dari Gramedia. Ku peluk buku itu dengan sangat erat, aku akan kesini, ke Korea.

            Brruuuaaakkkk
            Suara bantingan pintu membuatku terlonjak kaget, ternyata itu ulah kakakku yang masuk ke kamarku denga kasar, kenapa lagi dia?

            “Kenapa sih kak? Masuk kamar orang pakek acara banting-banting pintu segala.” Tanyaku heran karena melihat raut wajahnya yang muram.

            “Ra, kakak senang sih bisa ke Korea. Tapi ada sedihnya juga.” uda deh, mulai deh curhatnya, kalau sudah begini pasti dia bakalan cerita panjang kali lebar sama dengan luas.

            “Sedih kenapa kak? Pasti ini mau bicarain kak Tina kan?” dari roman-romannya sih pasti tentang kak Tina, pacar dari kak Vino.

            “Emang mau siapa lagi.” Jawabnya ketus.

            “Hahaha, takut jauh dari dia? Lucu banget sih! Kalau jodoh gak bakalan kemana kali kak. Mau sejauh apapun kalian kalau memang sudah takdir bakalan sama-sama kok.”

            “Iya sih Ra. Tapi kakak takut kalau-kalau dia itu jadi berpaling gitu” ucapnya, mungkin inilah salah satu keluh kesah dari kakakku ini.

            “Ya bagus, berarti dia itu tidak setia. Untuk apa di pertahanin.”

            “Benar juga. Iya sudahlah.” Lalu dia bangkit dari dudukannya dan mengelus rambutku “belajar bagus-bagus!.” Tambahnya dan berjalan keluar.

            Sepeninggal kak Vino aku membaringkan badanku ke ranjangku, pikiranku mengangan sampai menjebol atap kamarku. Bisa-bisanya aku berkata seperti itu pada kak Vino, sementara aku sama sekali belum bisa melepas Kai dengan sepenuhnya.

            “Haaaah… benar juga. kalau aku pindah pasti aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Ya ampun, padahal baru semalam aku bisa berkomunikasi dengannya lagi. Tapi, ada untungnya juga aku pindah, dengan begitu aku mungkin bisa melupakan dia cepat atau lambat. Ini hanya soal waktu.” Ucapku dalam batin.

            ***
Waktu seminggu itu sangat cepat, sepertinya perlengkapanku semuanya sudah beres, sejam lagi kami akan pergi ke bandara dan melesat ke Korea. Hari ini akan menjadi hari perjalanan yang panjang buatku. Dari kota di provinsi Indonesia, lalu ke Jakarta dan lalu menuju tujuan utama, aku tidak tau bakalan ada transit lagi atau tidak setelah dari Jakarta.

Hari ini aku mengenakan baju berwarna hijau berlengan panjang, bentuknya seperti baju kewer-kewer gitu, aku tidak tau apa namanya, jangan tanyakan hal fashion denganku, aku dengan senang hati akan menjawab “Tidak tahu.” Aku kurang berpengalaman dengan fashion. Lalu mengenakan hot pants jeans putih, serta sepatu kets berwarna coklat kotak-kotak putih. Rambutku hanya ku ikat longgar, mengenakan jam tangan silver ditangan kananku. Dan ditanganku selalu ada jaket yang diberikan Kai padaku waktu itu.

            Perjalanan pertamaku tiba, kami sudah berada di dalam pesawat menuju Jakarta. Aku duduk dengan kakakku, kak Vino. Dia itu sedang sibuk mempelajari bahasa korea, katanya supaya tidak terlalu memalukan saat sudah sampai disana. Sementara aku dan Sheina tidak perlu bersusah payah untuk belajar bahasa korea, karena kami adalah K-Pop.

            “Ra, nanti disana kamu panggil kakak …”

            “OPPA, aku sudah tau.” Aku memotong ucapannya dengan cepat, lebay banget sih kak Vino. Baru belajar udah nyuruh-nyuruh gitu.

            “Pinterrr..” ucapnya sambil tersenyum.
           
            Membosankan juga terus berada dalam pesawat, hanya ada awan dan langit yang biru yang bisa di lihat, ah! Membosankan, lebih baik aku ngemil saja.

            Waktu 2 jam itu mungkin terasa sebentar, tapi hari ini begitu lama, karena aku hanya mendekam di dalam pesawat.

            Jakarta, akhirnya sampai juga. aku tidak terlalu suka disini, disini padat dan panas, pengap lagi. Kami mencari tempat makan sekalian menunggu jadwal untuk penerbangan selanjutnya. Banyak sekali gadis-gadis yang kuperhatikan memperhatikan kakakku Vino. Kuakui saja, dia itu benar-benar tampan.

            “Aku risih di perhatikan seperti itu.” ujar kak Vino.

            “Kakakkan terkenal, jadi wajar saja.” Ucapku menahan tawa.

            “Wow!! Apa nanti di Korea sana kakak bakalan diperhatiin kayak gitu juga ya? Atau  mungkin jadi namja paling buruk yang ada disana.” Ujar polos Sheina yang ikut nimbrung dalam obrolan kami.

            “Namja?” kak Vino heran dan langsung membuka jimatnya itu. sementara aku dan Sheina sudah terkekeh geli melihat tingkahnya.

            Ngobrol ngalur ngidul bersama saudara-saudaraku memang tidak ada hentinya, sampai-sampai kami tidak sadar bahwa makanan yang tadi sudah di pesan sudah ada di hadapan kami. Waktu makanpun kami tetap saja bercanda-canda.

            Uhhuuuukkk uhhhuuukkk
            Sheina keselek karena terlalu ngekeh ketawa.

            “Sudah-sudah, makan saja dulu. Ngobrolnya nanti saja di lanjutkan.” Ujar mamaku sambil menepuk-nepuk pundak Sheina.

            “Sesuaikan diri selama disana, jangan jadi kuper. Tapi jangan juga kelewatan, ayah tidak mau itu.” ujar ayahku.

            “Disana, kami manggil ayah dengan sebutan appa saja ya, dan mama kami panggil eomma ya.” Pinta kak Vino, dia ini benar-benar terhipnotis atau bagaimana. Berlebihan sekali.

            “Hmm..” jawab ayahku, oppss appa maksudku, hehehehe…

            Drrtt drrrttt drrtt
            Tiba-tiba dering getar sms dari hpku bergetar. Setelah kulihat ternyata itu dari Mona.

            Uda sampai dimana Ra? Kai tadi nanyain kamu ke aku. Tapi tenang aja, aku jaga rahasia kok, hehehe …

            Apa? Kai? Nanyain aku? Untuk apa? Beribu pertanyaan muncul di benakku saat tau bahwa KAI mempertanyakan keberadaanku, bukan maksudku untuk menghilang, hanya saja ini adalah jalan untuk melupakannya secara total.

            Masih di Jakarta Mon, doain aku ya agar sampai tujuan dengan utuh.

            Begitulah isi pesanku kepada Mona, tidak lama hpku bergetar lagi.

            Pasti, jangan sombong ya kalau uda disana.

            Aku tersenyum geli membaca pesannya, sahabatku ini memang yang terbaik. Aku tidak akan melupakannya, tidak akan pernah.

            Sippp buk!! Hahaha :D

            Itu smsku sebagai penutup smsku dengan Mona, karena sebentar lagi kami akan take off. Jadi yang bernama peralatan elektronik wajib dimatikan.

            ***
Berjam-jam sudah, akhirnya aku menginjakkan kaki di sini KOREA. Aku benar-benar menikmati pemandangan ini, pemandanga yang benar-benar indah di mataku, ibu kota Negara memang, tapi tidak sepengap dan sepadat Jakarta, bukan maksudku membandingkan. Tapi memang itu kenyataannya.

            Rumah kami disini sangat sangat besar, entah berapa harga rumah ini, yang jelas ayahku oppss, appa maksudku, telah mengatur semuanya. Rumah bergaya eropa ini bercatkan putih, tidak bertingkat tapi meluas. Dari pagar sudah terdapat taman hingga pintu utama rumah, di tengah halaman ada air pancur kecil. Lalu ada jembatan kecil untuk menuju pintu utama, aku menelusuri rumah ini, di halaman belakangnya terdapat taman yang luas. Sebagian dari rumah ini adalah kaca, sehingga sinar matahari dapat menerobos masuk hingga ke dalam, rumah ini benar-benar bersinar.

            Lalu, aku memasuki kamarku. Dindingnya bercatkan putih hitam kotak-kotak seperti papan catur, desainnya sangat elegan. Disana sudah terdapat kamar mandi pribadi, tempat tidur king size, meja belajar, interior-interior mewah dan sederet lemari.
Satu kata “It’s amazing”.

            Aku membaringkan tubuhku yang sudah sangat kelelahan ini, bermaksud untuk rileks sebentar, dan ternyata setan-setan pengganggu datang dan membuatku terlelap.

            ***
“Hooaammmmm” aku mengeliat saat terbangun dari tidur pendekku, ku lirik jam yag bertengger di dinding menunjukkan jam 8 malam. Dengan langkah gontai aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi, ku hidupkan air untuk sekedar mencuci mukaku. Setelah merasa agak segaran, aku kembali ke kamarku mengambil pakaian dan kembali lagi ke kamar mandi.

            Air memang menyejukkan, setelah mandi aku pergi menuju ruang makan dirumah ini, disana sudah ada ayah, mama, kak Vino dan Sheina. Heum, ternyata mereka terlebih dulu makan.

            “Wah, putri tidur sudah bangun.” Ledek kakakku saat aku sudah duduk bergabung dengan mereka.

            “Ck, biasa saja.” Ucapku datar.

            “Sheina, kamu sudah bisa masuk sekolah 2 hari lagi.” Ujar ayahku di sela-sela makan.

            “Cepat sekali! Tapi, Sheina tidak tau jalan disini.” Ujarnya.

            “Ayah yang antar nanti.”

            “Lalu Vino dan Nhara gimana?” tanya kakakku yang mengesalkan itu.

“Vino minggu depan sudah bisa masuk, ayah akan memberikan kendaraan buat Vino, Nhara mungkin bulan depan, karena penerimaan mahasiswi baru.” Jelas appaku.

            Setelah makan malam, dan melakukan berbagai aktifitas setelahnya. Aku kembali ke kamar dan langsung bergegas ke pulau kapuk. Tanpa pikir panjang, kurasa aku sudah berada di langit kayangan.

            Hari ini benar-benar melelahkan, tak pernah kubayangkan. Bahwa sebagian hidupku akan berada dan berkisah disini, di Negara impianku. Aku sangat bersyukur atas anugrah ini, dan aku berharap disini aku bisa menemukan seseorang yang bisa menggantikan Kai sebagai takdirku.

            ***
Sinar-sinar mentari itu menerobos masuk hingga mataku, dengan susah aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang kesilauan. Hem, ternyata sudah pagi. Aku lalu turun dari pulau itu dan menuju kamar mandi, mencuci muka dan menyikat gigiku. Lalu aku keluar dari kamar.

            Tttttiinnnn tttiinnn …
            Seperti suara klakson mobil, aku pergi ke halaman depan untuk mencari sumber suara, ceklek, sebuah mobil Ferrari merah sudah terparkir manis di depan rumahku. Kak Vino sudah melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum-senyum.

            “Wow!! Jadi ini janji ayah memberikan kakak mobil?” tanyaku dengan ekspresi kaget pada kak Vino.

            “Hm, bagaimana menurutmu?” tanyanya dengan tampang cool. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.

            “Tidak usah terlalu kaget begitu kak, kakak juga dapat.” Tiba-tiba suara Sheina beerada di belakagku.

            “Maksudmu?” tanyaku heran karena ucapannya.

“Tuh!” dia menunjuk sebuah mobil berwarna putih yang berada tidak jauh dari Ferrari itu.

            “yaampun!! Itu untuukku?” tanyaku heran.

            “Tentu saja.” Jawab mereka dengan serempak. woow, mobill-mobiill,,, benar-benar awal hari yang menyenangkan.

            ***
            Setelah ini itu, mandi, sarapan dan segala macam bentuk aktifitas pagi hari, aku segera meminta peta kepada ayahku yang sedang berada di ruang kerjanya. Rencananya, aku bakal berkeliling kota sekaligus negaraku yang baru.

            “Nhara, kalau bisa kamu sempatkan untuk pergi ke universitasmu dan sekolah Sheina. Agar kamu tahu jalan, sepertinya ayah tidak bisa selalu mengantar Sheina kesana, pekerjaan ayah terlalu banyak.” Pinta ayahku, ya aku menurut saja. Toh, yang diucapakannya benar juga.

            “Universitas itu berada di jalan mana yah?” tanyaku penasaran.

            “Di gwangjin, kamu lihat peta atau GPS saja.” Ucap ayahku.

            “Baiklah!.” Ucapku dan segera pergi dari ruangan kerja ayahku itu.

            Langsung saja aku mengambil tas selempang yang biasa ku kenakan untuk berpergian, dan segera menuju halaman depan.

            “Mau langsung di coba ya mobil barunya?” ledek kakakku yang masih berada disana, sedang bermain basket.

            “Hanya mau mencari tempat-tempat menarik di kota ini, sekalian mau mencari alamat kampusku nanti.” Jawabku menjelaskan.

            “Kak, bisa tidak kau cari juga alamat sekolahku dimana. Lihat juga sekolahnya bagaimana.” Pinta adikku Sheina yang juga berada di sana.

            “Hmm, seingatku Hannyoung High School itu ada di gangdong. Tapi nanti kakak akan mencoba melihat kesana dulu, benar atau tidak berada disana.” Jawabku sambil mengingat-ngingat, seingatku memang di gangdong.

            “Hahaha,, seperti tau nama jalan disini saja.” Ledek kak Vino lagi.

            “Akukan hanya mencoba, tidak mungkinkan akan terus dirumah saja sepanjang tahun. Memangnya dirimu, mungkin daerah rumah kita saja kakak tidak tahu.” Ledekku balik.

            “Tentu saja kakak tahu, ini di gangnam kan?” tantangnya, dan sialnya tebakannya benar. Dari pada meladeninya lebih baik aku segera masuk ke mobilku saja.

            “Ck.” Decakku kesal sebelum berlalu menaiki mobil.

            “Awas nanti menelponku jika tersesat!!!.” Ancam kakakku yang menyebalkan itu dari luar, cuiih, dia mengancam sambil terkikik-kikik?

            Lebih baik sekarang aku mulai mengontrol moodku dengan baik, mengingat kelakukan kakakku yang semakin menyebalkan. Ingatlah Nhara disini adalah kota idolamu, Cho Kyuhyun. Jangan rusak panaroma keindahan yang baru saja akan kau lihat.

            Ku lesatkan mobilku mulai ke jalan raya, yah. Jujur saja, disini memang agak sedikit crowded. Tapi ini lebih lenggang dari ibu kotaku dulu. Status warga Negara kami masih Indonesia, hal itu karena kami pindah bukan karena kemauan tersendiri tetapi karena ada urusan dari pekerjaan ayahku.

            Bisa kukatakan, kalau ayahku itu pengusaha yang sukses, dia menggelut di dunia pendidikan, tapi dia juga membantu usaha designer yang dijalankan ibuku. Banyak lembaga-lembaga pndidikan yang dikerjakannya di Indonesia, dan sekarang dia sedang melakukan penelitian pendidikan di Negara ini.

            Satu-satunya tempat yang aku tahu pasti hanyalah bandara nasional Incheon, ck mengesalkan. Tidak mungkinkan aku bertamasya disana? Lebih baik aku search om google aja. Hmm,, mungkin aku ingin tahu dimana letaknnya Han River itu, bukankah itu tempat yang paling menenangkan? Tidak! Itu lebih menjadi tempat idamanku. Mumpung ada disini, kenapa tidak kujelajahi saja tempat-tempat yang menjadi idamanku. Hahaha, kau benar Nhara. Lagian, waktu masuk universitasmu itu masih lama, kau mau jadi orang bego di rumah? Setidaknya kau tidak akan memalukan jika ditanya tempat-tempat penting di Negara ini.
            Got it. Ah! Ternyata sungai Han berada di selatan kota Seoul. Baiklah-baiklah, aku akan kesana detik ini juga. chuuusss!!! …

Han River, south Korea

            Waahh … kau memang pintar Nhara, pilihanmu tidak salah untuk kemari. Tempat ini, tempat ini lebih memukau dari yang kau lihat diinternet. Panorama tamannya benar-benar indah, apalagi dengan adanya taman Yeouido dan taman Nanji. Omo, mungkin ini akan menjadi tempat favoritku selama disini. Aku akan menangis darah kalau tidak bisa ketempat ini lagi.

            Aku segera mengambil tempat yang langsung menghadap aliran sungai Han. Ah! Udaranya benar-benar segar. Hm, siapa sangka tempat yang dulunya menjadi tempat pembuangan sampah kota Seoul akan menjadi tempat seindah ini, yah itulah taman Nanji. Aku akan membawa mama, ayah, kak Vino dan Sheina ketempat ini. Kemping disini rasanya tidak terlalu buruk, malah lebih menyenangkan.

            Hm!! Hampir saja aku melupakan sesuatu.
            Potret! Aku memang berencana akan memotret ria selama disini, untuk kenangan pribadi. Aku tidak tahu akan berada disini berapa lama dan aku sama sekali tidak mau kehilangan momen menyenangkan ini, tidak ada kesempatan kedua bukan?

            Cekrek … cekrek … cekrek
            Oh bagus, aku sama sekali bukan pemotret yang baik. Hasilnya benar-benar buruk. Kau harus belajar memotret Nhara.

            “Hei, annyong!.” Seseorang menepuk pundakku saat aku merutuki diriku yag bodoh ini.

            “Hm, nde?” ya ampun, kenapa kau menggunakan bahasa Korea Nhara? Kau kan tidak terlalu fasih dengan bahasa ini. Kau mau mati hah? Jika sampai orang ini menggunakan bahasanya lebih jauh dari dugaanmu.

            “Neo..”

            “I can’t Korean speaking very well.” Aku memotong ucapan gadis ini ketika tahu dia akan menngunakan kalimat yang mungkin sangat menyulitkanku.

            “Hm,” dia tersenyum sekilas. “So, you aren’t from here.” Lanjutnya lagi.

            “Right! I had been here yesterday.” Jawabku pada gadis ini, menurutku dia sangat imut. Nhara, bukankah kau tahu jika gadis disini memang imut-imut.

            “Jinjja?” aku tahu pasti arti dari ucapannya. Aku sering mendengar kata ini di drama korea.

            “Ne. Waegurae?” kau terlalu sok-sokan Nhara. Pikirkanlah akibat yang akan kau tanggung.

            “Aniya! You are like Korean girl. I just want to say hello with you. Maybe, we can be friend. So very happy if have a beauty friends like you.” Ucapnya yang sukses membuatku merona. Aku? Aku seperti gadis korea. Sungguhkah? Bukankah mereka itu sangat-sangat mempesona.

            “Ah!” ucapku salah tingkah dan menggaruk tengkuk belakangku yang sama sekali tidak gatal.

            “So, iremi muosimnika?” tanya gadis imut ini.

            “Nhara imnida.” Jawabku sembari menyambut uluran tangannya. Tangannya benar-benar halus dan lembut.

            “Hmm … Hye-Sun, Lee Hye Sun imnida.” Dia menyebutkan namanya sendiri, nama yang manis Hye-Sun.    

            “Nhara-ssi, do you want sit on that chair?” Hye Sun menunjuk bangku yang tadi kududuki, yah memang tadi aku berjalan menjauh dari bangku itu untuk mengambil gambar yang buruk ini.

            “Ne.” jawabku singkat, dia hanya tersenyum kecil dan menarik lenganku untuk ikut bersamanya menuju bangku itu.

            Ku perhatikan, selama kami duduk bersebalahan disini. Dia hanya menatapiku yang sedang memutar-mutar kamera canon ini. Ah, bukan! Aku memang sedang salah tingkah, bukan kesukaanku jika ditatapi begini terus. Gadis ini aneh juga.

            “Nhara-ssi, odieso wassemnika?” akhirnya yeoja ini membuka mulutnya juga.

            “ Indonesiaeso wassemnida.” Jawabku singkat.

            “Hm, gajogi odie samnika?” tanyanya lagi.

            “Gangnam-gu samnida.” Aku benar-benar seperti orang bodoh berbicara dengan gadis ini, bukankah dia ini tahu aku bukan warga korea asli, kenapa dia terus menanyaiku dengan bahasa itu. Apa dia itu mengidap amnesia sedetik?

            “Nhara-ssi ..”

            “YAK!! Are you forgetting something? I CAN’T KOREAN SPEAKING.” Segera ku potong ucapan yeoja gila ini dengan sedikit berteriak. Aku bisa setres memutar otakku hanya untuk mengerti apa yang diucapkannya.

            “Hahaha.” Tertawa? Kenapa dia malah tertawa? Apa menurutnya ini lucu? Sama sekali tidak! “Mianhe!” lanjutnya masih dengan tawaan kecil. Aku kembali duduk di bangkuku, ya memang tadi aku sentak berdiri karena emosi.

            “Mianhamnida! I’m still not believe if you are Indonesian girl.” Apa dia ini mau membuatku sesak nafas, ayolah, aku tidak akan terlihat semenarik kalian.

            “It’s your problem Hye-Sun ssi.” Ucapku sedikit ketus.

            “Can I borrow your phone?” pintanya tiba-tiba, ck yeoja ini memang tidak tahu adab, baru membuatku kesal sudah berani meminjam hpku.

            Langsung saja ku sodorkan hp tipe I-phone 4 ini padanya, dari pada dia terus menunjukka tampang aegyonya yang membuatku iri itu.

            “Gomawo.” Ucapnya manis. Ku perhatikan dia mengotak-ngatik hpnya dan hpku. Sebenarnya apa yang di lakukan yeoja ini. Semenit kemudian dia mengembalikan hpku kembali.

            “Hm, I think I must go out from here, Nhara ssi. I’ve other work after this. I hope we will meet again soon. Ok! Annyong.” Dia tersenyum dan segera membalikkan badannya untuk berlalu pergi. Hanya baru beberapa langkah dia berbalik badan dan melambaikan tangannya padaku, sentak saja aku langsung melambai padanya juga.

            Hm, sendiri lagi.
            Aku terus saja menatap sungai itu lekat-lekat. Udaranya benar-benar menyenangkan. Tiba-tiba suau tempat indah terlintas di otakku, Namsan Tower. Yupz, aku memang harus segera kesana. Tapi, bukankah tu berada di bukit Namsan. Tentu saja, yang otomatis itu berada di jantung kota seoul ini.  Aigo, mungkin besok aku kesana, mengingat ini sudah menunjukkan pukul 3 sore. Tapi, seingatku jika pergi kemenara itu sangat lebih menyenangkan jika malam hari. Ash, baru membayangkannya saja sudah membuatku merana, mana mungkin ayahku yang baik itu memberi izin anak gadisnya keluar malam-malam. Apalagi akukan baru disini. Sudahlah, lebih baik aku pulang saja dan mencari tempat makan, mengingat aku belum makan siang dari tadi.

On the road, at Gangdong, Seoul

            Aku sudah berjanji pada adikku Sheina untuk melihat sekolahnya. Yah memang benar dugaanku, Hannyoung High School itu memang berada di gangdong. Bangunannya sangat besar dan mewah, tentu saja. Inikan salah satu sekolah favorit disini, mana mungkin sekolah favorit bentuknya jelek.

            Berputar-putar begini bukannya menyenangkan, malah membuatku semakin lapar. Mataku masih saja jelalatan melihat kedai-kedai yang menjual berbagai macam makanan, tapi sayangnya belum ada yang menarik minatku. Sampai … OMO!! Kedai itu memasang pamphlet makanan bibimbab, itukan makanan yang sangat kuidam-idamkan dari dulu. Ayo ayo, kau akan segera ku lahap bibimbap sayaangg …

            Setelah memarkirkan mobilku, aku setengah berlari menuju kedai itu. Aku langsung berhadapan dengan pelayannya dan tanpa meilhat buku menu aku memesan bibimbap dengan mantap. Aku menduduki sebuah bangku yang berada di pojokan kedai ini, sambil menunggu pesanan aku mengambil hpku dan memainkannya. Aku jadi teringat dengan kelakuan Hye-Sun pada hpku. Baru saja aku membuka hpku, sudah ada pesan memo yang muncul yang bertuliskan

Kita akan segera bertemu kembali Nhara ssi. Kau teman yang manis.”

Ck, jadi ini kerjaan Hye-Sun. Pasti dia memanfaatkan tante google translate untuk semua ini.

Tak berapa lama, pesananku datang. Melihatnya saja aku sudah ngiler-ngiler. Setelah memastikan pelayan itu pergi. Aku langsung melahap makanan yang di depanku ini dengan rakus.

“Ah, ini benar-benar nikmat.” Ucapku di sela-sela makan.

Nhara’s home, Gangnam gu, at 8.30 P.M

            “Nharaa, dari mana saja hah?” teriak kakakku saat aku  baru saja memakirkan mobilku di halaman depan.

            “Bukannya tadi aku sudah pamit padamu?” jawabku singkat. Dia ini benar-benar merusak moodku yang sedang baik.

            “Tapi tidak sampai malam begini,  pergi dari jam 10 pagi dan pulang hampir jam 9. Apa yang kau lakukan diluar sana hah?” repetnya lagi sambil berdecak pinggang dan berteriak-teriak.

            “Yaampun, bagaimana bisa ada gadis yang menyukai pria bawel sepertimu?” frontal saja kalimat itu terucap dari bibirku ini. Tanpa berpikir bahaya apa yang akan kudapat setelah ini, tapi menelik dari sikapnya wajar saja aku mengatakan itu, pria idaman di kotaku dulu tengah berteriak-teriak heboh melebihi isi kebun binatang? Bukannya itu patut untuk dipertanyakan?

            “Apa? Apa yang barusan kau ucapkan?” terlihatan guratan emosi di matanya, yah biarlah dia berexpresi semaunya. Moodku sedang baik hari ini, aku tidak mau kehilangan moodku gara-gara dia.

            “Tidak ada! Kau hanya salah pendengaran kak. Adikmu yang manis ini mau masuk dulu ya oppa, annyong!.” Ucapku ramah sambil tersenyum sebelum meninggalkannya yang masih mengumpat-ngumpat di halaman sana.

            Dengan riang gembiranya aku melangkah hampir setengah meloncat-loncat kegirangan, sampai sebuah suara yang memekakkan telinga membuat moodku buruk.

            “YAK!! KAK!! KAU MASIH INGAT PULANG HAH?” siapa lagi jika bukan Sheina.

            “Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak malam-malam?” deg, suara itu bukannya suara mamaku, OMO, bagaimana ini. Bisa mati aku jika mama sampai tahu apalagi jika dia mengadu pada ayahku.

            “Lihatlah anak gadis ini Ma, pulang sampai malam begini.” Dasar adik menyebalkan, dengan seenak perutnya dia menunjukkan telunjuknya ke arahku.

            “Nhara?” melihat raut wajahnya saja sudah membuatku down.

            “Maaf ma, seandainya Nhara tahu jalan pintas, pasti Nhara akan memilih jalan itu agar sampai ke rumah lebih awal.” Ucapku sambil tertunduk takut.
            “Dimaafkan! Ini peringatan awal dan terakhir Nhara-ya.” Aku sangat terkejut mendengar penuturan ibuku ini. Bukan! Bukan karena dia memaafkanku, tapi karena dia menggunakan embel-embel di belakang namaku, Nhara-ya.

            “Mama!” seruku sangking kagetnya.

            “Ck, sudahlah jangan berlebihan. Bukankah kalian yang mau supaya ayah dan mama begini?” tanya mamaku balik.

            “Ne eomma.” Ucapku senang seraya memeluk erat eommaku ini. Dia benar-benar ibu yang pengertian.

            Setelah berbenah dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk bergabung di ruang keluarga. Karena sepertinya dari tadi aku mendengar keributan yang bersumber dari sana. Dan benar saja, begitu aku sampai di ruang itu, semua penghuni rumah ini sudah berkumpul disana , tanpa terkecuali termasuk pelayan rumah ini, mereka sedang menghidangkan makanan ringan untuk ayah dan mamaku, dan berlalu pergi.

            “Vino ingin kuliah di Kyunghee saja.” Itulah kalimat awal yang ku dengar saat aku baru saja menduduki sebuah bangku tepat disamping Sheina yang sedang memainkan I-padnya.

            “Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?” tanya ayahku pada kakak sematawayangku ini.

            “Hm, jujur saja. Vino lebih menyukai di bidang seni daripada bisnis dan pandidikan.” Jawabnya ringan.

            “Bukan karena kakak ingin meniru Kyuhyun Oppakan?” celetukku tiba-tiba dan langsung mendapat sorotan tajam dari kakakku ini.

            “Kau kira aku seperti mu!” ucapnya sewot.

            “Lalu, jika bukan Vino siapa yang akan meneruskan lembaga pendidikan kita?” tanya ayahku serius pada kak Vino.

            “Ayah tenang saja! Semua sudah Vino pikirkan matang-matang. Kyunghee juga memiliki pelajaran tentang bisnis dan pendidkan. Vino akan mengambilnya juga. Walaupun nanti Vino tidak akan terlalu focus kesana. Tapi, ayah tenang saja. Lembaga pendidikan kita tidak akan berlalu begitu saja.” Ucap kakakku dengan mantap.
            “Kamu serius nak?” tanya mamaku kali ini dengan tampang ragu.

            “Tentu saja ma!.” Jawabnya yakin.

            “Baiklah! Jika memang ingin begitu. Tapi, ayah ingatkan! Jangan main-main dengan keputusan ini, dan jangan sampai lembaga menjadi imbasnya. Mengerti?” sebuah peringatan keluar dari bibir ayahku setelah bebrapa saat dia menimbang-nimbang.

            “Mengerti.” Ulang kakakku seraya tersenyum.

1 year later

            “Hei!!! Putri tidur, banguuunnn.”

            Ya ampun, kenapa pagi-pagi begini sudah berisik. Aku masih mengantuk. Suara apalagi tu? Seperti alaram kebakaran saja. Memekakkan.

            “JANGAN MEMBUATKU TERLAMBAT LAGI GADIS BODOH!.” Bentak seseorang yang sedang menarik-narik selimutku yang nyaman. Dengan tenaga yang belum ada aku mencoba mendudukku badanku dan bersandar di punggung tempat tidur ini.

            “Ada apa?” semprotku pada adik sematawayangku ini.

            “Ck, antar aku ke sekolah! Ini sudah jam setengah 7.” Jawabnya.

            “Huh!! Kau tunggu saja di luar, aku akan bersiap-siap.” Ucapku datar seraya meneguk air putih yang berada di meja kecil tepat di samping tempat tidurku.

            “Dan membiarkanmu tertidur lagi? TIDAK!! Aku akan menunggu disini.” Sejak kapan anak ini menjadi pintar? Aku memang berencana tidur 10 menit lagi.

            Sudahlah, lebih baik aku bangkit saja sekarang. Toh, aku ada kelas jam 11 nanti. Menjajaki kamar dengan kepala linglung bukan hal yang menyenangkan. Apalagi aku merasa masih di kerajaan kayangan.

            Tepat mulai dari 1 tahun yang lalu aku sudah aktif berkuliah, benar-benar memusingkan mengambil jurusan bisnis. Ini bukan kesukaanku, tapi ini karena pembuktian baktiku pada orangtua yang menginginkanku masuk ke jurusan bisnis.

            “Cepat sedikit.” Teriak adikku dari luar halaman saat aku sedang menalikan sepatuku.

            5 menit kemudian, mobilku sudah berada di jalan raya. Distrik pertama yang kutuju tentu saja Gangdong, tempat Sheina bersekolah. Lalu Gwangjin tempat kampusku berada.

            “Kenapa tidak minta antar Kak Vino?” tanyaku dengan perasaan kesal.

            “Dia sudah berangkat jam 6 tadi.” Jawabnya datar. Jam 6? Sejak kapan bangkai busuk itu bisa bangun jam 6 pagi? Paling cepat saja jam 10 pagi. Ah! Pasti mama yang membangunkannya.

            Ah, sial. Kenapa perutku keroncongan begini? Hm, aku baru ingat kalau aku tadi tidak sarapan karena terus di desak adikku ini agar segera mengantarnya ke sekolah. Sedikit ku perdalam injakan gasku agar segera sampai ke Gangdong. Perutku benar-benar mengulah pagi ini.

            Sreett ..
            Suara gesekan ban mobilku, tentu saja menandakan mobil ini sudah berhenti. Sheina langsung melepaskan seltbeltnya dan turun dari mobilku.

            “Gomawo eonni.” Ucapnya dan segera berlari menuju gerbang sekolahnya.

            Bagaimana dengan nasibku? Lebih baik aku mencari makanan saja. Setelah kuingat-ingat, bukannya disini ada kedai bibimbab? Ya tentu saja! Aku kembali menyusuri distrik ini untuk mencari keberadaan tempat itu. Hingga aku melihat sebuah pamphlet bibimbab, dan segera aku meyakini bahwa itulah tempatnya.

            Deg
            Entah ada apa denganku hingga membuat jantungku memompa cepat saat menginjakkan kaki di kedai ini. Padahal sebelumnyakan tidak begini. “Kai” gumam batinku. Kenapa dia? Kenapa dia lagi yang aku pikirkan? Bukannya hampir bebrapa bulan ini aku sudah hampir melupakannya bahkan untuk sekedar mengingatnya pun tidak. Lalu kenapa begini? Apa aku merindukannya?

            Semakin aku memasuki kedai ini, pikiranku tentang dia semakin dalam. Ayolah Nhara, itu mustahil sekali untuk dibayangkan. Sudahlah, lebih baik kuurungkan niatku untuk makan disini, semakin lama disini pasti aku akan semakin mengingatnya.
            Segera saja aku setengah berlari menuju mobilku, dan anehnya aku merasa ada hal yang janggal di benakku. Tapi entahlah, aku juga tidak mengerti. Yang jelas aku harus segera meninggalkan tempat ini. Akan lebih baik jika aku duduk mendengarkan dosen tua di kampusku daripada merasakan hal aneh ini.
Konkuk University at Gwangjin
In the Canteen…

            Makan dikantin juga tidak masalahkan? Yang penting lambungku terisi dan tidak kosong. Huuh.. kuperhatikan sedari tadi banyak sekali mahasiswi maupun mahasiswa berlarian menuju taman depan kampus, ada apa ya? Apa ada artis terkenal yang datang kemari? MUngkin saja Super Junior? Wooaa…
           
            Dengan naluri yang kuat, aku beranjak dari tempatku berada dan menuju kerumunan ramai itu. Tapi anehnya, semakin aku mendekat perasaan aneh itu muncul lagi. Hatiku mengatakan bahwa aku harus melihat pusat keramaian itu, tapi otaku melarang keras kakiku untuk melangkah kesana. Ash.. menyusahkan! Sudahlah, lebih baik aku ke kelas saja. Toh sebentar lagi juga masuk.

            “Hai Nhara!” Sapa Hae Rin seraya melambaikan tangannya padaku, mengingat dia sudah berada di mulut pintu kelas. Segera saja aku membalas lambaiannya itu.

            “Hai! Why you not come in (Kenapa kau tidak masuk)?” sapaku balik setelah sudah berada ditempat yang sama dengannya. Tidakkah kalian bertanya kenapa aku menggunakan bahasa Inggris? Ini karena aku tidak bisa berbahasa korea dengan fasih. Dan untungnya semua temanku disini mengerti akan hal itu.

            “Waiting you, Nhara (menunggumu, Nhara).” Jawabnya seraya menarik tanganku untuk masuk ke dalam kelas. “Have you heard that? (Apa kau sudah mendengarnya)” lanjutnya lagi setelah kami sudah duduk di bangku masing-masing.

            “Hear about what? (Mendengar tentang apa)” tanyaku penasaran seraya menautkan alisku, bukannya menjawab gadis ini malah senyum-senyum aneh begitu. “Can you explain to me! (Bisa kau jelaskan padaku)” tuntutku karena tak kunjung mendapat jawaban.

            “I can’t. You will know by yourself later (Aku tidak bisa. Kau akan tahu sendiri nanti).” Jawabnya seraya mengerling genit ke arahku, membuatku bergeming merinding.

            “Dasar aneh.” Umpatku kesal.
            “What did you say?” tanyanya heran karena aku tidak menggunakan bahasa yang dapat ia mengerti.

            “Never mind.” Sahutku asal dan segera memalingkan wajahku ke depan kelas karena dosen tua itu sudah masuk.

            15 menit sudah dosen ini menjelaskan di depan sana, tapi sialnya satu pun tidak ada yang singgah di kepalaku, bahkan sekedar lewat saja pun tidak. Ais, menyusahka! Lagipula, kenapa aku jadi kehilangan konsen begini? Kuedarkan pandanganku keseluruh ruang kelas ini, dan sialnya mataku malah tertumbuk pada Kang Sung Jae, pria yang sudah diketahui seluruh kampus ini bahwa dia menyukaiku dan nyaris mngejar-ngejarku. Dan lebih sialnya lagi dia sepertinya telah memperhatikanku dari tadi, dengan tatapan yang err misterius.

            “So, you’ve started to like him? (Jadi kau sudah mulai suka dengannya?)” bisik Hae Rin ditelingaku dengan lembut.

            “Who? (Siapa)” tanyaku seakan tidak mengerti.

            “Sung Jae of course.” Sahutnya sambil cekikikan kecil, karena tidak mungkin dia mengeluarkan suara beruang ganasnya disini.

            “Damn you!” aku menghela nafas dan kembali untuk memfokuskan diri pada dosen yang tua ini, yah walaupun hasilnya juga bakalan sia-sia. Aku sama sekali sudah kehilangan konsentrasi.

In Garden, at Konkuk University

            Sudah sejam yang lalu aku mendekam di kursi putih di taman belakang kampusku ini. Sambil mendengarkan lagu-lagu yang sengaja ku pasang, aku mulai merilekskan diriku yang terasa lelah.

            “Excuse me, nona.” Sapa seorang bocah tiba-tiba, yang entah darimana datangnya. Apa dia ini tuyul yang sedang menyamar? Tapi, kenap tuyul punya rambut?

            “Ya!.” Sahutku malas dan menatap bocah yang kuduga tuyul jadi-jadian itu. tapi untuk seekor tuyul, rasaku bocah ini cukup manis.

           “This is flower for you” ucapnya seraya menyerahkan sebuket bunga yang entah bunga apa namanya, aku menerima bunga itu dengan ragu seraya mempertajam tatapanku pada tuyul ini.

            “Don’t look me like that!! I was just told by a guy who likes you, nona.” Ucapnya dengan ragu-ragu. “Excused me!” ucapnya lari dan ngicir berlari.

            Pria yang menyukaiku? Siapa? Sung Jae? Berani sekali dia mengirim bunga sialan ini. Apa dia sudah punya nyali sekarang? Atau apa dia mau minta ku hajar lagi, dasar pria aneh. Ku akui dia tampan, pintar dan apalah itu. Tapi, bagiku dia biasa saja. Bahka dari semua kelebihannya yang luar biasa itu tidak ada satupun yang menarik minatku. Jadi lebih baik, aku buang saja bunga ini. Tidak ada gunanya juga jika disimpan.

            Alih-alih ingin membuang bunga ini, aku malah meninggalkannya di bangku taman itu dan bergegas pergi. Rasanya kalau harus membuangnya ke tong sampah, agak sedikit tidak tega, gini-gini aku juga punya hati.

At Nhara’s Home

            “Tumben cepat pulang.” Sindiran tajam menyambutku saat aku baru melangkah masuk ke rumah.

            “Bukan urusanmu!” hardikku cepat dan berlalu meninggalkan kakakku yang menyebalkan ini.

            “Kenapa adikku sayang? Mukamu jelek sekali kalau ditekuk segiempat begitu.” Ledek kakakku seraya mengikutiku dari belakang.

            “Capek! Jadi, bisakah tidak menggangguku malam ini saja oh kakakku sayang?” ucapku seraya membalikkan badan menghadap kak Vino.

            “Baiklah!.” Sahutnya dan berlalu pergi, tumben sekali manusia menyebalkan itu mau menurut begitu saja.

            Setelah mandi, makan dan segala macamnya. Aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Bukannya tidur, aku malah menghayal hingga menara kembar di Malaysia. Hm.. hari ini kenapa begitu melelahkan padahalkan ini biasa saja. Tapi memang bukan badanku yang lelah, melainkan hatiku.

            Drrttt drttt drttt
            Ais. Siapa pula yang mengirim sms malam-malam begini, mengganggu saja. Segera ku ambil Hpku yang terletak di nakas meja. Privat number.

            Kenapa bunganya kau tinggal di bangku taman? Aku datang untuk mengembalikannya, bunga itu ada di depan pintu kamarmu. Kuharap kau tidak membuangnya lagi.

            Apa? Mataku langsung membulat sempurna membaca sms itu, segera saja aku melompat dari tempat tidurku dan beralih ke knop pintu kamarku, dan benar,buket bunga itu sudah tergeletak manis di bawahku.

            “Kak Vinoooooooooo” teriakku histeris, berharap kakakku yang setengah tungkik itu mendengarnya dan segera datang kemari.

            “Ada apa? Kenapa teriak-teriak seperti di hutan begitu?” ucapnya kesal. “Hei, bunga darimana itu?” lanjtunya lagi ketika melihat sebuket bunga berada di tanganku.

            “Justru itu! apa tadi ada yang datang kemari? Bunga ini tiba-tiba saja ada di depan pintu kamarku.” Ucapku dengan nada yang eerr aneh.

            “Tidak ada yang datang….”
            Blaammm
            Ucapan kakakku terhenti saat mendengar suara pintu rumah kami yang sepertinya baru tertutup.

            “Kak.. Jangan-jangan..” aku segera ngicir menuju lantai dasar rumahku, berharap menemukan orang yang meletakkan bunga ini di depan pintu kamarku. Dan hasilnya nihil.

            “Sudahlah! Yang jelas, yang mengirim bunga itu manusia bukannya setan. Itu lebih baik, walaupun kau tidak tahu siapa orangnya. Simpan saja bunga itu, mungkin suatu hari nanti kau akan menemukan pengirimnya, dan….” Ucapan kakakku terpotong begitu saja dan membuatku penasaran. “Lupakan saja! Lebih baik kau tidur.” Lanjutnya seraya mengelus puncak kepalaku.

            Blaammm
            Kubanting pintu kamarku karena terlalu kesal dengan kejadian ini. Bunga ini? Siapa yang mengirim? Sung Jae? Tap bisa saja dia, mengingat cerita temanku yang mengatakan bahwa dia sangat menggilaiku. Ash, ini membuatku merinding. Bagaimaa kalau benar dia dan dia berniat melakukan hal yang kasar padaku, karena aku sering menyakiti hatinya? AAAHhhh

            Drrttt drtttt drttt
            Sms siapa lagi itu? Tau tidak sih aku lagi kesal? Privat number. Lagi-lagi privat number, apa sekarang sudah banyak orang Korea yang mengidap penyakit alay?

            Tidurlah! Ini sudah malam. Jangan terlalu memikirkan aku. Suatu hari nanti aku akan datang kepadamu dan memperbaiki semuanya. Percayalah!! Dan satu hal yang harus kau tau, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Sudah terlalu lama aku melihatmu dari kejauhan.

            “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHhhhhhhhh… DASAR PRIA SIALAN, TIDAK TAHU DIRI, MESUUUUUMMM, SOK MISTERIIUUUSSS… AWAS KALAU NANTI BERTEMU AKAN KU PATAHKAN SEMUA TULANGMUUUU!!!!!! AWAAAAASSS KAUU YA…” teriakku histeris setelah membaca sms sialan itu.

            “NHARA! KENAPA RIBUT SEKALI. INI SUDAH MALAM.” bentak kakakku dari luar kamar sambil menggedor-gedor pintu kamarku.

            “DIAM! BUKAN URUSAN KAKAK.” Bentakku balik seraya melemparkan botol air kea rah pintu kamarku.

            Ini benar-benar aneh. Kejadian hari ini benar-benar aneh, dan ini semua bermula dari kedai bibimbab itu. Hae Rin yang menggantung kalimatnya, bunga dan kak Vino. AAsshh.. apa orang ini berniat membuatku cepat keriput? Lebih baik aku tidur saja.

At Konkuk University
Halaman depan …

            “Tidak ikut bergabung kesana?” tegur seorang senior yang diketahui bernama Hye Sun. Yupz, Hye Sun ternyata 1 tahun lebih tua dariku dan merupaka seniorku disini.
Dan kenapa dia berbahasa Indonesia? Karena dia belajar tentunya, dia sangat senang menguasai berbagai bahasa asing.

            “Tidak kak. Aku tidak tertarik.” Sahutku ragu, memang sedari tadi banyak sekali segerombolan orang yang menyerbu pintu masuk,  ada yang mengatakan bahwa ada murid baru yang sangat tampan, tapi yah.. aku tetap tidak tertarik.

            “Kalau begitu, sampai jumpa.” Ucapnya dan segera bergabung dengan kerumunan orang itu.

            Aku pun melanjutkan perjalananku yang tertunda karena orang-orang tadi.

            “Hai!!” sapa seseorang yang tengah duduk manis di bangku kelas yang biasa kududuki, dan sukses membuat mataku membulat sempurna.

            “KAU? Kenapa bisa ada disini?” tanyaku spontan pada manusia jadi-jadian ini.

            “Kau kira tempat ini milikmu? Ini tempat umum, aku berhak berada disini.” sahutnya ketus, seraya menurunkan kakinya yang memang tadi berada di atas meja. “Dan, carilah tempat lain! Aku mau duduk disini!.” lanjutnya lagi.

            “HAH? Seenak jidadmu saja menyuruhku pindah! Kaulah yang seharusnya pindah! Lagipula, untuk apa kau disini?” bentakku pada manusia yang sebenarnya kurindukan setengah mati ini.

            “Kau ketinggalan informasi ya? Aku murid baru disini. Jadi aku disini untuk belajar bukan untuk berjudi.” Balasnya sewot, serta menampakkan smirk setan kebangsaannya.
“Kusarankan agar kau mencari tempat duduk saja. Kurasa dosen Lee akan segera masuk.” Tambahnya lagi. Dan tepat setelahnya, dosen tua itu pun menyembulkan kepalanya di dalam ruangan kelasku.

            “Nhara! Come here!” teriak Hae Rin dari arah pojok ruangan. “You know him? (Kau kenal dia)” tanyanya penasaran setelah aku berada di jangkauan matanya.

            “Ya! He is my friend (Dia temanku)” jawabku ketus. “His name is KAI” tambahku mengakhiri obrolan ini.

            Pikiran lain memenuhi kepalaku saat ini, jangan bilang kalau pusat keramaian tadi itu adalah Kai. Oh yang benar aja! Manusia itu juga bisa popular disini. kuakui, tampangya gak jauh beda sama pria-pria Korea yang notabenenya ganteng-gateng bangetkan, malah kalau bisa dibilang memang wajahnya itu lebih cocok jadi orang korea daripada negera asalnya.

            Pluup..
            Kertas kecil mendarat sempurna di mejaku. Siapa sih yang iseng lempar-lempar kertas disaat begini.

            Hei!! Apa yang kau pikirkan? Kedatanganku? Hahaha… kau merindukanku ya Nhara :p

            Tanpa perlu berpikir ratusan kali, aku sangat yakin bahwa yang melempar kertas ini adalah teman seperjuanganku saat SMA itu, KAI.

            Tanpa perlu diperintah otak, mataku langsung menuju meja Kai, dan alangkah menyebalkannya karena dia sudah cekikikan cekikikan tak jelas
            “Rha!” senggol Hae Rin “Rha! Sung Jae is looking you and Kai.” Ucapnya pelan, seperti berbisik. Belum habis rasa kesalku dengan bocah tengil itu, kini malah ditambah lagi dari si pengganggu hidupku. Oh!! Kenapa menyebalkan begini.

            “Ok!! All of you, I’ll give you an assignment, and this assignment is done in the form of groups. I’ll tell you who is your partner. May be, next week. So, prepare yourselves!” ucap dosen Lee di akhir penjelasannya.

            “Yes sir!” balas kami serempak. Kira-kira tugas seperti apa yang akan diberikannya? Dan siapa pula yang akan menjadi pasrtnerku, mudah-mudahan saja orangnya menyenangkan.

            “Rha! Bisa bicara sebentar?” tegur Kai tiba-tiba, dan kali ini gayanya yang cool itu sudah kembali lagi. Cih, dasar berkepribadian ganda. “Tidak ada kata tidak!” tegasnya lagi dengan wajah tak ingin dibantah.

            Setelah menyetujui ajakan Kai, dia membawaku ke tempat biasa aku duduk selepas selesai kuliah, dimana lagi kalau bukan taman belakang kampusku ini. Tapi bedanya, kali ini kami duduk di atas rumput, dengan Kai yang sudah berbaring disana, sementara aku hanya duduk disampingnya.

            “Jadi, kau ingin bicara apa ha?” tanyaku pada akhirnya, karena sejak sampai disini, dia sama sekali tidak mengeluarkan suara.

            “Entahlah!” jawabnya ringan.

            “Ash! Kau ini benar-benar menyebalkan…”

            “sstttttt” dipotongnya ucapanku dengan bersst ria. “Aku sedang menikmati sesuatu.” Lanjutnya.

            “Menikmati apa?” tanyaku penasaran.

            “Tentu saja udaranya! Kau ini bodoh sekali.” Jawabnya ketus seraya memejamkan matanya. “Sudah berapa lama kau disini?” tanyanya masih dengan memejamkan mata.

            “Setahun yang lalu, kau?” tanyaku balik.
           
            “Dua hari yang lalu” Jawabnya santai tanpa tau mataku sudah membulat sempurna. Tentu saja dia tidak tau, matanyakan masih terpejam.

            “Aku ingin bicara, kau diamlah dan dengarkan! Anggap saja aku sedang curhat dengan temanku.” Ucapnya lagi masih dengan mata tertutup. Kali ini Kai memperbaiki posisinya sehingga mungkn lebih nyaman dari yang tadi.

            “Kau tau tidak, bagaimana rasanya ingin bernafas tapi tidak ada udara? Rasanya tidak mungkinkan? Karena didunia ini selalu penuh dengan udara. Tapi, setiap orang memiliki wilayah dan keinginan dimana dia dapat menghirup udaranya sendiri. Contohnya kau! Kau duduk disana dan aku disini, kita masing-masing memiliki wilayah sendiri untuk menghirup udarakan. Tapi, kau tau? Pada dasarnya udara yang kita hirup itu sama. Jadi, kenapa kau harus jauh dariku untuk menghirup udara yang sama?” Dia menghentikan ucapannya dan pada detik itu juga dia membuka matanya. Dan anehnya, ketika melihat matanya, rasanya jantungku sudah berhenti.

            “Kau mengerti maksudnya?” tanyanya padaku.

            “Tidak.” Ucapku jujur, karena memang aku tidak mengerti apa maksud ucapannya itu, udara? Lalu memangnya kenapa dengan udara. Rasanya tidak ada yang perlu dibahas. Apa dia menyindirku? karena memang aku terlalu jauh dari posisi dia berbaring, tapikan tidak terlalu jauh.

            “Bagaimana bisa kau masuk universitas popular ini? Otakmu benar-benar dangkal. Itu saja kau tidak paham.” Ledeknya sembari menendangkan kakinya yang memnag dapat menyentuh kakiku.

            “Kau kira kau sepintar apa hah?” ledekku balik, enak saja dia mengataiku otak dangkal. Gini-gini nilaiku bagus-bagus.

          “Yang jelas tidak sebodoh dirimu.” Jawabnya sewot. “kurasa, kau memiliki pengagum rahasia disini!.” lanjutnya lagi, kali ini dia menampilkan wajah serius.

            “Maksudmu?” tanyaku heran.

            “Pria itu? Yang dikelas tadi. Yang tampan itu, tapi tidak setampan aku..”
            Buuggh
            “YAK!! Kenapa kau melemparku dengan buku?” bentaknya tak terima.
            “Karena kau terlalu pede.” Jawabku datar.

            “Ash! Kau ini benar-benar.” Dengusnya sebal dengan tingkahku yang melemparnya dengan buku. “Aku mau pulang! Kau membuatku badmood.” Lanjutnya dengan nada yang dibuat-buat.

            “Yasudah! Kau kira aku akan menghalangimu.” Sahutku santai dan melenggang pergi meninggalkannya yang masih terduduk di rumput itu.

            Baru saja beberapa langkah meninggalkannya, aku harus menghadapi pria tampan yang paling mengganggu sepanjang sejarah hidupku.

            “Nhara! This is your book. You leave it in your desk drawer.” Ucapnya seraya menyerahkan buku bersampul coklat itu.

            “Ah! Thank you, Sung Jae-ssi.” Sahutku dan mengambil buku itu. “Sorry, I’ve to go home now, excused me.” Tambahku dan segera berlalu pergi tanpa menunggu jawabannya.

Nhara’s Room

            Kalau dipikir-pikir, aneh ya. Kenapa aku sama sekali tidak bisa menyukai Sung Jae? Yang notabenenya, penyayang, tampan, pintar, kaya, cool dan semua hal yang sempurna ada sama dia. Dan yang lebih aneh lagi, kenapa sampai sekarang aku masih menyukai Kai? Rasanya benteng yang kubangun selama setahun ini hancur sia-sia saat kembali melihatnya.
           
            Yah Kai, pria tinggi berkulit putih, abs dimana-mana, gaya rambut yang berantakan, tapi entah kenapa aku sangat menyukainya, berantakan tapi keren, bukan berantakan lecek. Itu sih? Ya you knowlah. Ah! Kai, Sung Jae? OMO!! Nhara, kenapa kau malah memikirkan Sung Jae, pengganggu hidupmu?

            Daripada memikirkan hal yang aneh-aneh, lebih baik aku mengulang pelajaran yang tadi, berhubung aku memang tidak memfokuskan diri dengan peljaran tadi.

            “Eh! Kertas apa ini?” batinku saat melihat ada kertas kecil yang menyelip di bukkuku.

          Anganku adalah, kau bisa menjadi salah satu kebutuhanku. Bisakah kau mengiyakan yang satu ini?

            Kuremas secarcik kertas ini. Tidak salah lagi, ini pasti ulah Sung Jae, karena memang dia yang terakhir memegang bukuku. Apa-apaan itu, kebutuhan? Apa maksudnya? Bisa-bisanya pria baik-baik seperti dia mengatakan hal seperti itu. ternyata aku salah menduga, dia tidak sepolos itu.

            Tok tok tok
            Lamunanku segera buyar mendengar ketukan pintu yang tertuju untukku.

            “Formal sekali, masuk saja.” Teriakku dari dalam kamar. “Sheina?” sahutku ketika tau siapa yang datang.
           
            “Ini ada bingkisan untukmu. Entah dari siapa? Disini tidak ada nama pengirimnya.” Jelasnya seraya memutar-mutar bingkisan itu. “Nih” ucapnya lagi ketika menyodorkan bingkisan itu padaku. “Yasudah ya!.” Dia berjala menuju pintu dan blam…

           Bingkisan? Dari siapa? Segera kubuka bingkisan itu dengan rasa penasaran yang membuncah-buncah. Dan tau apa isinya? Sebuah boneka lumba-lumba. Bagaimana pengirim ini tau kalau aku suka boneka lumba-lumba? Hei tunggu, ada secarcik kertas.

            Kuharap kau menyukainya.
            Ini hal terakhir yang kulakukan untuk saat ini.
            Hingga datang saatnya untuk kau mengetahui semuanya, Nhara.

            Sial, si pengganggu itu lagi.
            Yah, setidaknya dia sudah berkata bahwa dia tidak akan menggangguku lagi untuk sementara waktu ini. Huh! Syukurlah, aku hanya di ganggu selama 2 hari ini saja.

            Drrttt drrtttt drrt
            Oh hp! Kenapa kau berbunyi sekarang? Siapa ini? Privat number, oh ayolah. Bukannya dia bilang tidak akan menggangguku lagi.

            Tapi, jangan harap aku akan melepaskan tatapanku darimu.
            Kau selalu berada dalam jarak pandangku, Nhara.
            Sudah ku katakan, kau tidak akan ku lepas… lagi.

            Sebenarnya, aku sangat risih dengan orang ini. Bisa kusimpulkan, bahwa orang ini memang dekat denganku, dan dia ada dimanapun aku berada, atau jangan-jangan dia juga berada di kamarku ini. AH! Tidak-tidak. Tidak mungkin dia gila berani masuk ke kamar seorang gadis, kemana harga dirinya itu?

            Aku sungguh penasaran dengan orang ini, semua sasaranku telah kutujukan pada Sung Jae, pria yang memang menyukaiku itu. Tapi, kenapa aku belum cukup yakin. AH! Lebih baik, aku mengumpulkan semua bukti dan meyakinkan diriku sendiri sebelum melabraknya secara terang-terangan.

            Rasanya, aku memang harus membuntutinya sepanjang hari. Kalau hanya dengan begitu caranya, ya baiklah. Tapi, aku membutuhkan seorang partner. Hae Rin? Ah tidak, dia terlalu banyak bicara. Bagaimana dengan Kai? Hmm.. ide bagus! Sekalian aku mendapat kesempatan berdua dengannya.

            Tiiiiiitttttttttttttt tiiitttttttttt
            “Hallo, who are you?”
            “Kai, ini aku Nhara.”
            “Hm kau! Ada apa? Merindukanku?”
            “Tidak! Aku ingin meminta bantuanmu?”
            “Bantuan seperti apa?”
            “Kegiatan seperti detektif, kau maukan? Ayolah! Menolong teman itu berpahala.”
            “Tau apa kau soal pahala?”
            “Assh! Kau mau menolong atau tidak?
            “Ya baiklah! Besok di sungai Han jam 9 pagi kalau memang niat meminta tolong dengan ku.”
            Ttiiitt tiiitt tiiitttttttt

            “AAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGHHH!!!! DASAR MENYEBALKAN! BERANINYA KAU MEMUTUSKAN TELPON SAAT AKU BELUM SELESAI BICARA. AWAS KAU KAI.”
           
            “Nhara! Kecilkan suaramu.” Bentak ibuku dari luar.

            “Bagaimana bisa aku menyukai pria seperti dia? Pria menyebalkan.” Umpatku kesal dengan tingkah Kai yang benar benar akwarrkwk.

Han River at 08.57 A.M

            “Kubilang datang jam berapa hah?” 

            “Akukan tidak terlambat, kenapa kau marah-marah? Masih ada 3 menit dari perjanjian awal.” Sungutku tak terima. Aku baru saja sampai beberapa detik yang lalu, dan akukan memang tidak terlambat. Kenapa dia mesti marah?

            “Setidaknya kau jangan membuatku menunggu!” semprotnya balik. “Jadi kau mau minta bantuan seperti apa hah?” lanjutnya.

            “Ah! Ini. Aku mau membuntuti seseorang, dan aku membutuhkan seorang partner. Kau bersediakan?” tanyaku dengan harapan dia mengiyakan permintaan itu.

            “APA? Jadi sekarang kau mulai jadi penguntit? Aku tidak mau!” balasnya dengan gusar dan melenggang pergi.

            Segera kutahan tangannya agar langkahnya tidak semakin jauh. “Ku mohon. Bantu aku Kai. Beberapa hari ini ada seseorang yang membuatku penasaran?.” Lanjutku, kali ini penuh dengan nada mengharap. Seketika itu juga, Kai menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadapku.

            “Seseorang? Maksudmu?” tanyanya heran seraya menatap mataku tajam, sungguh, matanya benar-benar menusuk, penuh intimidasi.

            “Iya, beberapa hari ini ada seseorang yang mengirimiku hadiah dan beberapa pesan aneh. Aku penasaran dengan orang ini. Dan aku sudah punya tersangkanya. Hanya saja, aku tidak yakin. Untuk itulah aku ingin membuntutinya.” Jelasku.

            Entah perasaanku saja atau memang benar, Kai kelihatannya tertarik dengan apa yang barusan kuceritakan. “Lalu? Siapa yang kau curigai?” tanyanya heran, kali ini wajahnya tidak seketat yang tadi. Tapi seringaian aneh muncul di sudut bibirnya.

            “Eum.. memang sedikit aneh. Tapi aku mencurigai Sung … Sung Jae.” Ucapku ragu.

            Kai menatapku dengan tatapan “yang benar saja”. Dia mengangkat sebelah alisnya dan semakin memainkan smirknya. Untuk beberapa saat dia mempertahankan posisinya seperti itu.

            “Baiklah! Kedengarannya aku mulai tertarik untuk membantu.” Jawabnya santai.

Kai’s Car

            Dari beberapa menit yang lalu, kami telah meninggalkan sungai Han. Dan kini kami tengah berada di jalan besar kota Seoul. Hari ini aku sengaja tidak membawa mobil, karena aku yakin partnerku ini juga membawa mobil. Jadi kupikir, memang lebih baik 1 mobil saja untuk memata-matai seseorang.
            “Ehm!! Boleh bertanya sesuatu?” tanya Kai tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangangannya dari jalanan.

            “Ya, kau mau menanyakan soal apa?” tanyaku balik.
           
            “ Kau. Bagaimana bisa kau mencurigai Sung Jae? Apa tidak ada orang lain yang bisa kau curigai selain dia?” tanyanya heran.

            “Karena setauku, dia sangat menyukaiku. Kan mungkin saja kalau dia yang melakukan semuanya.” Jelasku asal.

            Kai lalu sekilas menatapku tajam, bahkan lebih tajam daripada yang tadi. Aku sendiri tidak mengerti perubahan ekspresinya yang begitu cepat.

            “Nhara! Kalau nanti kau menemukan orang yang mengirimimu hadiah-hadiah itu. Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan menyukainya?” tanyanya lagi, tapi entah kenapa aku mendengar Kai mengucapkannya dengan nada pilu.

            Aku mengedikkan bahu dan terlihat tidak terlalu perduli. “Entahlah Kai.”

            “Kai! Stop stop!.” Ucapku spontan begitu melihat Sung Jae berada di toko bunga.

            “Ada apa?” tanyanya heran dan mengikuti arah pandangku, seolah mengerti, dia mulai mendekatkan mobilnya ke toko bunga tersebut.

            “Untuk apa dia membeli bunga?” gumamku sendiri seraya terus mengamatinya. “Itu? Bukannya bunga itu sama persis dengan bunga yang kemarin?” gumamku lagi. “Tidak salah lagi!.” Seruku senang.

            “Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Bagaimana kalau itu bukan untukmu?” ujar Kai menjawab gumamanku. Tapi, ada benarnya juga si setan manis ini.

Nhara’s Home

            “Mama, Ayah, Kakak, Sheina… Nhara pulaaanngggg!!.” seruku lesu seraya berjalan masuk ke dalam rumah.

            Aku langsung saja berjalan ke ruang makan untuk mengisi lambung-lambungku yang kosong ini. Kenapa ku bilang lambung-lambung? Karena lambungku memiliki laci-laci kosong di dalamnya.
            “Hoa… lezatnya.”
            Mataku berbinar cemerlang begitu melihat makanan-makanan yang sudah lama tidak terlihat oleh mataku; dendeng sapi, tauco, sate ayam kuah kacang, ada rujak, es kelapa dan masih banyak lagi.

            “Apa ada pesta besar?” tanyaku terlebih pada diri sendiri, sebab hanya aku yang berada di ruangan itu.

            “Hanya jamuan makan malam.” sahut suara yang menjawab pertanyaanku.

            Segera aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. “Kak Vino? Siapa yang datang?”

            “Teman ayah. Kenapa mukamu kusut sekali tadi ha? Apa ada masalah?” tanyanya balik seraya mengambil tempat di kursi yang lain. “Makanlah! Akan kakak temani.”

            “Hmm.. iya. Aku tadi pulang naik bis.” Jawabku kesal.
           
            “Bukannya tadi kau bilang, kau akan diantar temanmu sampai rumah?” tanyanya heran.

            “Tadinya seperti itu, tapi dia tiba-tiba saja bilang kalau dia ada acara yang dia lupakan. Bukankah itu sangat menyebalkan?” gerutuku kesal seraya menempatkan nasi ke piringku.

            “Maklumilah! Mana tau dia berkata jujur. Setidaknya, dia sudah baik mau menemanimu seharian ini.” Ucap kakakku memberi nasehat. Yah, benar juga sih.

            “Kurasa.”

Nhara’s Room

            Sudah menemukan apa yang kau cari?

            Begitulah pesan singkat yang dikirimkan oleh si privat number itu. Dia memang tidak menggangguku dengan hadiah-hadiah itu. Tapi, smsnya itu tidak pernah berhenti. Belum lagi, darimana dia tahu bahwa aku sedang mencari tahu sesuatu. Dan itu semua itu berkaitan dengannya.

            Bagaimana kalau kita main tebak-tebakan saja? Rasanya itu akan menyenangkan. Lagipula, ini akan lebih berguna daripada kau terus membuntuti orang yang kau curigai.

            Sms kedua darinya, dan sepertinya aku tertarik dengan hal ini. Dengan tebak-tebakan aku akan menemukan pria ini. Pasti.

            Aku tau kau setuju! Mulai sekarang aku akan memberikan clue untukmu. Setiap jam 05.30 AM.

            Dasar pria gila, bagaimana bisa dia membuat ini menjadi sebuah permainan. Dia kira hatiku bisa dipermainkan. Dasar tidak ada otak. Pria macam apa ini ? melebihi setan. Rasaku dia ini iblis atau mungkin raja setan.

            Lebih baik aku tidur dan menormalkan kembali jalan pikiranku.

At 05.30 in Nhara’s Room

            Kau tak pernah memperdulikanku selama ini.

            Aku sengaja bangun pagi untuk membaca clue darinya, dan hal itu jauh dari dugaanku. Ku kira dia akan memberikan cirri-ciri fisik dirinya, dan ternyata dia malah memberikan hal semacam itu, kalau begini aku harus berpikir dan menebak secara gamblang.

            Baiklah! Siapa selama ini yang aku tak perdulikan? Hm.. ash! Kebanyakan dari orang yang kukenal memang tidak terlalu aku pikirkan. Jadi bagaimana aku menemukan orang ini? Bahkan mengenal diriku sendiri saja terkadang aku tidak ingat. Apalagi orang lain?

            Kalau orang ini sampai beranggapan aku tidak memperdulikannya. Bukankah itu berarti dia sangat memperdulikanku? Bahkan sampai dia menganggap semua yang dia lakukan untukku itu tidak pernah aku perdulikan. Tapi, siapa dia?

            “Nhara!! Ayo turun dan sarapan.” Suara mamaku memecah lamunanku yang tak berujung.

            “Iya Ma, sebentar lagi.” Sahutku. “Ck, kenapa jadi beban pikiran begini.” Decakku gusar seraya bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi.

At Konkuk University
In The Canteen

            “Minum dulu! Kau terlihat tidak sehat.” Seru Kai padaku seraya menyodorkan segelas teh hangat.

            “Aku sehat. Kai, aku ingin bertanya padamu.” Sergahku  seraya mengambil minuman tersebut.

            “Oh! Baiklah.” Jawabnya pasrah. “Apa yang ingin kau tanyakan?” lanjutnya.

            “Apa aku terlihat kurang memperdulikan orang lain?” tanyaku langsung tanpa ada basa-basi. “Dan, apa kau  juga tidak kuperdulikan? Lalu, bagaimana sikapku padamu, dan orang lain?” tambahku.

            Kai menghela nafas berat sebelum menjawab. “Kau. Kau bukannya kurang, kau bahkan sama sekali tidak perduli dengan orang lain.” Ucapnya ragu. “Sikapmu padaku tentu saja begitu, kau tidak perduli denganku, bahkan kehadiranku saja kau tidak tahu. Apalagi orang lain, kurasa jika ada orang yang mati di depanmu, kau juga tidak akan perduli.” Jelasnya seraya menyeruput minumannya.

            “Kedengarannya terlalu keji. Aku tidak seperti itu.” elakku membela diri. “Tapi kurasa kau punya teori sendiri tentang diriku, benar tidak. Mengingat kau adalah orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda dari orang lain.” Lanjutku.

            “Benar! Aku punya teori sendiri tentangmu. Dan hanya aku yang tahu.” Jawabnya misterius dengan tatapa mata yang kali ini sangat-sangat tajam dan penuh intimidasi, dan… eum hasrat.

            “Kenapa kau tidak memberitahuku? Inikan soal diriku. Apa salahnya aku tahu?” ucapku tak terima.

            “1 dari 3 yang kau tahu. 2 dari 3 yang kau tidak tahu.” Jelasnya mengakhiri percakapan, sebelum akhirnya dia pergi meninggalkanku sendiri.

            “Kai, apa maksudmu? Kenapa kau memberi teka-teki lain? Taukah kau kalau aku masih punya teka-teki yang belum bisa ku pecahkan?” gumamku pada diri sendiri.

In The Class

            Hari ini dosen Park yang masuk dengan pembahasan ekonomi daerah. Beruntungnya kali ini aku dapat menyimak setiap pelajaran yang dia berikan, tidak seperti beberapa hari ini, pikiranku selalu ngelantur entah kemana.

            “Permisi!.” Itu suara dosen Lee. Dia sepertinya membicarakan sesuatu dengan dosen park. “Ah terima kasih.” Ucap dosen Lee setelah dosen park mengangguk.

            “Baiklah! Seperti janji saya, saya akan membacakan partner kalian untuk tugas kali ini. Kang Sung Jae bersama Kim Hae Rin, Goo Jun Hee bersama Lee Dong Hoo, Nhara Fradella bersama Kai Valery …………….” Lanjut dosen lee.

            Mataku membulat sempurna mendengar nama partnerku sendiri. Seharusnya aku senang, karena akan mudah mengerjakan tugas bersama orang yang sudah dekat dengan kita. Tapi, masalahnya. Aku agak sedikit canggung dengannya setelah kejadian tadi.

            Dengan ragu aku melirik ke arah bangkunya.
            “Ah sial!.” Umpatku kecil.
            Dia juga sedang melihatku, dan yang lebih mengesalkan lagi, tatapa matanya tidak melembut sedikitpun. “Kalau begini, aku harus meminta bertukar partner.”

            “Ini sudah keputusan saya. Dan kalian tidak berhak untuk meminta bertukar partner.” Ucap dosen Lee seakan mendengar jalan pikiranku barusan, oh dasar menyebalkan.

In tha Garden

            “Hai Nhara!!.” Sapa seseorang.
           
            Segera ku tolehkan kepalaku kea rah sipenyapa.
            “Oh, Hai Kai!” lega rasanya dia sudah melembutkan tatapan matanya kembali.

            “Aku minta maaf meninggalkanmu seperti tadi.” Ucapnya lagi seraya mengambil tempat disisiku.

            Aku menggeleng. “Tidak masalah.” Ucapku sambil tersenyum.

            “Jadi bagaimana tugas kita, partner?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada menggoda.

            “Kurasa kita bisa memulainya besok.” Ucapku mantap, dan diiyakan olehnya.

Keesokan harinya, at 05.30 AM
           
            Kau adalah salah satu bagian kebutuhan untukku bertahan hidup. Kekurangan beberapa detik saja, dapat membunuhku.

            Baiklah, itu adalah clue kedua. Dan aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya, kebutuhannya? Mana ku tahu apa yang menjadi kebutuhannya.

            Lebih baik, aku mencatat semua clue yang ada. Lalu setelah banyak baru bisa ku simpulkan. Permainan ini sangat menyebalkan. Aku merasa seperti pihak yang dirugikan.
            Drrtt drtttt
            Oh shit!! Sms siapa lagi itu?

            Nhara, aku di depan pintu kamarmu.

            Mataku sukses membulat mmbaca sms singkat dari si raja setan badung mesum kurang asam ini, dan apa katanya? Depan pintu kamar? Ck, apa tidak ada satupun orang rumah ini yang melarangnya berdiri di depan pintu kamar putri cantik sepertiku.

            Took toookkk took

            “Sebentar!!!” teriakku sekeras mungkin. Berharap si setan itu mendengar.

            Aiishh, aku belum bersiap siap,mandi juga belum. Inikan masih terlalu pagi, aku mau melanjutkan tidur, ah! Biarlah dia menunggu, toh pintunya juga dikunci.

            “Nhara!! Buka pintunya!! Atau aku akan mendobrak pintu kamarmu sampai rusak, aku tidak perduli kau masih tidur atau sudah bangun, kuhitung sampai 3, 1 …“ ancamnya, dan sukses membuatku lompat dari tempat tidur.    

            “Ah! Celana training celana training.” Aku sibuk membongkar lemariku untuk menemukan pakaian yang pantas untuk menemuinya.

            “2…” teriaknya lagi “Tiiii….” Lanjutnya.
            Braaak….

            “APA?” ucapku sewot begitu kubuka pintu kamarku itu.

            Dia tidak menjawab, dan sebagai gantinya malah melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan detail.

            “Apa lihat-lihat?” sahutku merasa risih di perhatikan seperti itu.

            “Tidak ada!!” jawabnya datar masih dengan memperhatikanku.

            “Kau ada otak tidak sih? Ini jam berapa? Untuk apa kau datang kerumahku dan berdiri di depan pintu kamarku jam segini haaah?” sungutku geram.

            “Salahmu sendiri! Kau sendiri yang bilang kita mengerjakan tugas kelompok itu hari ini, tapi kau tidak memberitahu jamnya berapa, jadi supaya tidak terlambat, aku datang jam segini.” Jawabnya santai. “Ini kamarmu? Boleh aku masuk?” tanyanya lagi.

            “Ha? Tidak boleh? Ini kamar seorang gadis. Kau tidak tahu malu atau bagaimana ha? Sudah datang pagi buta dan sekarang meminta masuk ke kamarku?” jawabku sewot seraya melipat tanganku di depan dada.

            “Biarkan saja, toh dia tidak mengganggumukan? Sudah bagus dia berniat mengerjakan tugas kelompok itu, dia sudah disini dari jam 5 tadi. Dia pasti mengantuk, suruh dia istirahat, dan kau Nhara, sebaiknya mengerjakan tugasmu di rumah sebelum pergi.” Sahut kakakku Vino, yang tiba-tiba muncul.

            “Tapi kak?”

            “Tidak ada tapi-tapian sayang.” Ucapnya dan berlalu pergi seraya menepuk pundak Kai.

In the Café, at 09.30 A.M

            Sudah dari setengah jam yang lalu, aku dan Kai duduk di café ini sambil membaca buku untuk tugas kelompok ini, tapi otakku menolak semua kalimat yang sudah kubaca, ku lirik Kai sekilas, sepertinya dia sangat serius memahami buku tebal itu.

            Dari pada kepalaku pusing karena buku itu, mending searching aja. Mencari informasi bukan hanya dari bukukan? Ide bagus Nhara.

            “Percuma kau mencari di internet kalau pikiranmu sama sekali bukan untuk tugas ini.” Sindirnya tanpa mengalihkan matanya dari buku itu.

            “Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.

            “Maksudku, pikiranmu sedang tidak disini.” Jawabnya sambil menutup bukunya. Dan membuatku tercenang, bagaimana dia tahu?

            “Bagaimana kalau begini saja! Aku yang kerjakan tugas ini sampai selesai, dan kau hanya menemaniku saat mengerjakan tugas ini. Karena aku tidak mau tugas ini hasilnya jelek hanya karena kau tidak serius, Nhara.” Lanjutnya lagi.

            “Kau benar! Lebih baik seperti itu.” jawabku lesu.
            Drrrttt drttt drttt
            Sms siapa sih? Mengganggu saja.

            Nhara! Kau kacau, kau tidak perlu memikirkan tentang siapa aku. Karena pada akhirnya kau memang akan tahu, tidak perduli kau dapat menerima atau tidak.

            Entah kenapa, tanganku gatal untuk membalas pesan itu.

            Kalau memang kau tidak ingin melihatku kacau, seperti yang kau katakan. Kenapa kau tidak memberitahuku siapa dirimu?       

            Tidak lama setelah itu, drrrttt drrrtttt

            Karena belum saatnya!

            “Sial!!.” Umpatku kesal.
           
            “Kau kenapa? Mulai kehilangan kewarasan?” ledek Kai dengan nada yang dibat-buat.

            “Kai, kau tahu?” ujarku datar.

            “Apa?” balasnya heran.

            “Aku tidak akan mengikuti Sung Jae lagi, kurasa bukan dia orangnya, dan aku yakin itu. Apa kau berpikir orang yang mengirimiku pesan ini sangat menyayangiku?” tanyaku blak blakan pada Kai.

            “Kau bicara apa ha? Kurasa kau sakit.”

At Kai’s Apartement
09.00 PM

            Untuk beberapa hari ini, aku menginap di apartement Kai. Herannya, orang tuaku menyetujuinya begitu saja. Biasanya, untuk sekedar menginap dirumah teman perempuanku saja tidak bisa, ini? Di apartement seorang pria? Dasar aneh. Bukankah lebih berbahaya kalau disini?

            Aku disini hanya untuk sebatas kerja kelompok saja. Yaa, sesuai kesepakatan bersama, dia yang mngerjakan aku yang menemani.

            Kai sedang sibuk dengan buku, laptop dan beberapa kertas printnan yang berisi beberapa hipotesis kami, kelihatan sangat serius. Aku tidak pernah tahu kalau dia bisa seserius itu, yang kutahu dia itu jail, suka seenaknya, dan terkesan gila. Tapi, untuk kali ini, semua pemikiranku tentangnya jadi berbeda.

            Aku sendiri, sedang duduk di sofa yang dikelilingi beberapa makanan ringan.

           “Kau bisa tidur duluan kalau kau mau.” Ucapnya datar tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

            “Tidak! Sesuai kesepakatan, kau mengerjakan aku menemani.” Jawabku dengan nada tidak ada bantahan.

            “Terserah!” jawabnya dan melanjutkan pekerjaannya.
           
            Sepanjang Kai mengerjakan tugas, aku hanya diam menikmati cemilan yang ada. Hm… kurasa tidak begitu juga. aku bahkan lebih focus menatapnya daripada menatap cemilan ini.

            “Kapan kau berhenti menatapku begitu?”

            “Eh…” jawabku kikuk.

            “Kau ini, membuyarkan konsentrasiku saja.”  Sungutnya kesal.

            “kau saja yang tidak bisa berkonsentrasi.” Godaku balik.

            “Bagaimana bisa kau mengatakan itu?  aku hampir menyelesaikan setengah dari tugas yang seharusnya dikerjakan oleh 2 orang.” Sergahnya tak terima seraya menutup buku yang sedang jadi bahan penelitian itu.

            “Tentu saja bisa. Aku bahkan yakin, kau kehilagan konsentrasi karena berada dekat dengan putri cantik sepertiku, benarkan? Akui sajalah Kai Vallery!” godaku lagi.

            “Ash, kau ini benar-benar kepedean.” Sungutnya kesal seraya melanjutkan kembali tugasnya.

            Sekembalinya Kai dengan buku buku ilmiah itu, aku juga turut kembali dalam dunia imajinasiku, mengkhayal itu memang indah. Disana aku bisa menjadi apa yang menjadi impianku tanpa harus susah susah berjuang, dan disana akulah pemeran utamanya.

            Rasanya aku sangat kelelalahan dan mengantuk, tapi apa yang kulakukan? Aku hanya duduk diam menemaninya mengerjakaan tugas itu. Segera kulirik jam yang bertengger manis di dinding yang menunjukkan sudah pukul 12 a.m, tengah malam ternyata, pantas saja aku mengantuk.

            Kualihkan pandanganku pada Kai, dia masih sangat serius dengan tugas-tugas itu. aku pasti akan menjadi sasaran kebuasannya kalau sampai aku mengganggunya lagi, lebih baik kuurungkan saja niatku untuk menyuruhnya berhenti mengerjakan tugas itu. ini sudah malam, aku tidak mau dia sakit gara-gara ini, terlebih lagi aku akan merasa bersalah karena tidak ikut serta mengerjakan tugas kelompok ini.

            “Kau kenapa? Mengantuk?” ujarnya tiba-tiba

            “Engg, Kai. Kau tidak lelah? Kau sudah mengerjakannya dari tadi, lebih baik kau istirahat saja.” Ucapku gugup.

            “Lalu, kau yang akan melanjutkan tugas ini? Begitu?” tanyanya balik seraya menatap lekat mataku disertai senyuman setannya itu.

            “Akukan hanya khawatir kalau nanti kau sakit, dan kau malah mempermainkanku begitu. Yasudah, terserahmu saja. Aku mau tidur.” Ucapku sewot.

            Dasar bocah tidak tahu diri, sudah untung aku masih berbaik hati mengkhawatirkannya.
           
            “Nhara!” panggilnya seraya menahan tanganku.

            “Apa lagi?” tanyaku sinis setelah membalikkan badan menghadapnya.

            “Terima kasih.” Ujarnya manis seraya tersenyum.

            “Buat apa?”

            “Sudah mengkhawatirkanku.” Ucapnya lagi seraya mengacak pelan rambutku. “Kalau begitu, selamat tidur Na~ya.”  Lanjutnya seraya membalikkan badanku.

to be continued...