Yippiiiiii….
Selesai juga perjuanganku selama 3 tahun di SMA ku tercinta ini. Banyak
kenangan manis selama 3 tahun ini. Ah, tapi kenangan hanyalah kenangan. Tak
perlu diingat-ingat, lebih baik memikirkan masa depan. Tanjakan universitas
baru saja di mulai.
”Ra, foto-foto
bareng yuk!! Terakhir nih.” Ajak Mona temanku.
Kami baru saja
selesai menyelenggarakan perpisahan sekolah di gedung Grand Hill. Biaya yang
dikeluarkan pun tidak tanggung-tanggung muuuaahhhaallnya.
“Hahaha, yuk
yuk!!” aku mengikut Mona yang berlari ke arah luar gedung ini.
Ddduugggssss ….
Sepertinya aku
menabrak seseorang. Aku menolehkan kepalaku ke orang yang kurasa ku tabrak itu.
Betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa yang barusan ku tabrak adalah Kai.
Orang yang selama ini aku suka. Tapi entah kenapa kami malah berjauhan dan
sudah hampir setahun ini kami tak kunjung bertegur sapa.
“Maaf, aku tidak
sengaja” ucapku cuek dan berusaha agar tidak menatap matanya. Ku lirik sekilas,
Mona malah tersenyum-senyum tidak jelas dari kejauhan sana.
“Tidak Masalah.”
Jawabnya ringan. Ku rasa, takkan ada lagi perbincangan setelah ini, jadi
kuputuskan untuk melangkah pergi. Tapi, baru saja aku melangkah, sepertinya
tanganku ada yang menarik ke belakang. Dan orang itu adalah KAI.
“Eum Rha! Mau
ngelanjut dimana?” ucapnya yang benar-benar tak pernah ku sangka. 1 tahun, dan
baru hari ini, hari terakhir kami bersama dia berbicara padaku. Dan kenapa
disaat terakhir seperti ini dia berbicara padaku? Kenapa? Walaupun masih dengan
tatapan dinginnya, tapi tetap saja. It’s special word for me.
“Em, belum tahu.”
Jawabku gugup.
“Ouh.” Hah, hanya
oh, hanya itu. Ya ampun, kebiasaan sekali anak ini. Mending tadi gak usah negur
aja sekalian. Buat sakit hati aja sih. Dari pada aku emosi tingkat menara
eiffle mending aku pergi aja, gak usah tuh nyapa-nyapa dia lagi.
Aku berlari ke
tempat Mona sendirian dan tak menoleh ke arah Kai lagi. Tapi, kulihat Mona
masih saja memandang lurus. Apa Kai masih ada disitu ya?
“Kenapa lari?”
tanyanya setelah sadar aku sudah ada di depannya.
“Emang kenapa?”
tanyaku balik.
“Tidak ada apa
apa. Tatapannya aneh ya, Ra.” Ucapnya menahan tawa.
“Emang, kayak mau
makan orangkan?” ucapku ketus.
“Hahaha, santai
aja lagi.”
Aku dan Mona
duduk di tangga-tangga kecil. Kami foto-foto ala narsisme. Bukan hanya kami,
tapi masih banyak lagi yang foto-foto seperti kami. Bola mataku terus
berputar-putar melihat banyak anak-anak yang asyik berfoto-foto. Namun detik
berikutnya, mataku tertuju pada seorang anak lelaki yang mengenakan jas coklat.
“Kai” batinku. Segera aku membuang
muka, aku jadi teringat pada masa lalu kami yang sangat menyenangkan. Tidak
seperti setahun ini, diam-diaman. Kayak gak ada kehidupan aja sih.
“Ehm, katanya mau
move. Kenapa masih diliatin terus?” Goda mona yang sudah tertawa geli.
“Siapa juga yang
ngeliatin setan setangah jadi itu?” ujarku malu.
“Setan setengah
jadi? hahaha. Apalagi itu? Ra, denger ya, sekuat apapun kamu berpikir untuk
menghindarinya tapi kalau hatimu menolak, sama aja. Ini bukan matematika yang
menggunakan logika, tapi ini perasaan.”
Aku hanya diam mendengar ucapan
Mona, kurasa ada benarnya juga. Selama ini, aku sudah berusaha untuk
menghindarinya, tapi.. kenyataannya malah sebaliknya.
“Entahlah!”
“Ya, terserah kamu.” Ujarnya lagi.
Aku terus saja ngeliatin dia dari
kejauhan, terbayang dulu saat kami main bareng, gila-gilaan. Cerita bareng,
curhat-curhatan. Klop banget deh, tapi sekarang? Malah kami bakalan terpisah
lagi. Apa aku sanggup ya? Hmm,,, pasti bisa. Aku gak boleh tergantung dengan
dia terus. Emangnya dia itu siapa? Sok kegantengan banget sih, tapi emang iyaa.
Kenal sama dia itu benar-benar
anugrah, walaupun akhirnya sakit seperti ini, tapi aku tetap bersyukur pernah
kenal sama dia. Mungkin memang inilah yang terbaik dari pertemuan kami ini. Aku
tidak pernah menyesal kalau harus seperti ini. Selama sekolah disini, dialah
yang menjadi penyemangatku selama disini. Walaupun dia tidak tahu itu, tapi itu
tidak ada masalah kok.
Hari sudah menjelang sore, aku dan
Mona pun akhirnya pulang meninggalkan gedung bersejarah ini. Lagi dan lagi, aku
terus saja terbayang wajah Kai, menyadari bahwa hari ini adalah hari terakhir
aku bisa bersama dan melihatnya.
Bla … bla …bla…
Saat aku dan Mona berada di luar pagar gedung
ini, aku melihat Kai tengah bersandar di pagar itu. ya ampun, bagaimana bisa
dia tercipta sebegitu mempesonanya.
“Sst..” Mona menyenggol sikuku
sambil tersenyum.
“Aku tau.” Jawabku ringan tanpa
melihat ke arah Kai lagi.
Aku dan Mona berjalan melewati Kai.
Tapi sialnya, dia malah menarik tanganku dan membuatku menghadap padanya.
“Boleh bicara sebentar?” ujarnya
sambil menatap mataku intens.
“Tidak bisa! Aku mau pulang.”
Ucapku tegas, berusaha mengendalikan perasaanku yang menggila ini. Sekilas aku
melirik Mona menatapku dengan tatapan bodoh
banget sih.
“Hahahaha,” dia tertawa? Apanya yang lucu?
“Mau pulang? Cepat sekali. Aku aja
belum pulang, masa kamu mau pulang duluan? Inikan hari perpisahan kita.” Ucapan
yang benar-benar menyakitkan “inikan hari
PERPISAHAN KITA”.
“Uda sore, aku capek.” Ucapku
ketus.
“Dasar!! Yaudalah, hati hati ya.”
Ucapnya dan mencubit pipiku, dan berlalu pergi.
Aku hanya melihatnya sampai dia
masuk ke dalam gedung itu, barulah aku sadar bahwa pipiku benar-benar sakit.
Aku lalu mengusap-ngusap pipiku yang malang ini.
“Bodoh apa gimana? Dia mau bicara
dan kau tolak? Benar-benar tidak habis pikir.” Ucap Mona dengan nada kesal.
“Lupakan saja.” Jawabku sekenanya.
Aku dan Mona pun menyetop taksi
yang lewat, dan langsung masuk ke dalamnya. Sekali lagi aku menolah ke gedung
itu dan terbayanglah wajah Kai.
“Nhara!! Masuk dong!.” Teriak Mona dari dalam taksi.
Selama di taksi aku hanya
terbayang-bayang wajah kai. Taksi terus saja melaju di jalanan, jalanan begitu
macet. Belum lagi sepertinya akan turun hujan, karena sudah sedari tadi petir
dan kilat menyambar-nyambar. Dan tak ayal lagi, hujanmu turun mengguyur
permukaan bumi ini.
Tiba-tiba …
Sreeettt …
Entah suara apa yang berbunyi itu,
yang jelas taksi yang kami tumpangi sudah berhenti. Pak sopir langsung turun
mengenakan payung untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi, aku dan Mona
hanya menunggu di dalam taksi saja dan tak berniat untuk keluar.
“Dek, kalian cari taksi lain saja
ya. Bannya bocor.” Ucap pak sopir setlah kembali masuk kedalam taksi.
Dengan malasnya aku dan Mona pun
keluar dari taksi, dengan hujan-hujanan kami berlari untuk mencari tempat
berteduh. Untungnya ada halte yang tidak jauh dari situ.
Sudah 15 menit dan hujan belum
reda juga, daripada menyia-nyiakan waktu lebih baik aku mandi hujan saja. Akukan
sangat suka hujan, paling nanti kalau ditanya mama kenapa basah, tinggal bilang
kehujanan karena gak dapat taksi, emang bener kok.
“Mon, titip tasku ya.” Pintaku
pada Mona yang sedang makan gorengan yang baru saja dibelinya.
“Kamu mau kemana Ra?” tanyanya
seraya mengambil tasku.
“Mandi hujan.” Jawabku enteng.
Aku segera berlari ke taman yang
berada di belakang halte ini. Lumayan luaslah.
Ku hirup udara yang benar-benar segar untuk paru-paruku, anginnya
yang dingin benar-benar membuatku nyaman. Walaupun ada petir dan kilat tapi
tetap saja ini menyenangkan, aku lalu membentangkan tanganku dan berputar-putar
di taman itu. seperti anak kecil memang, tapi yasudahlah. Memangnya ada yang
perduli?
“Ehm!!...”
Tiba-tiba ada suara yang sepertinya ditujukan padaku. Segera ku cari asal suara
dan taaddaaa … suara itu adalah Kai
yang sudah berada di belakangku.
“Bukannya tadi
kamu ada di gedung?” tanyaku karena kaget melihatnya.
“Aku uda pulang,
lalu melihat ada seorang perempuan yang baru saja tamat SMA sedang mandi hujan
seperti anak usia 5 tahun. Untuk itulah aku disini.” Ejeknya.
“OH!” ucapku
datar.
“Tadi katanya mau
pulang, kenapa nyangkut disini?” tanyanya balik.
“Ban taksinya
bocor, jadi diturunin di halte itu.” ucapku dan menunjuk halte di depan sana.
“Sendirian?”
tanyanya lagi.
“Tidak, aku sama
Mona berdua.” Jawabku jujur.
“Kan sudah
kubilang, jangan pulang dulu. Gak nurut sih, makanya jadi sial begini, hahaha
…” Ledeknya dan tertawa kekeh.
“Terserah!”
“Monanya mana?” tanyanya lagi.
“Di halte, kenapa? Kangen?” ucapku
sinis
“Tidak.” Ucapnya datar
Dia mengajakku untuk kembali ke
halte, disana Mona sudah menunggu dengan beberapa bungkus makanan ditangannya.
“Kai, Nhara?” tanyanya kaget
“Aku ngeliat dia mandi hujan
disana.” Jawab Kai. “Mon, rumah kamu dan Nhara searah ya?” tanya lanjutnya
“Tidak, kami beda arah. Nanti aku
turun di simpang 4 depan sana terus nyambung lagi, kalau si Nhara sih turun di
depan rumahnya.” Jawab Mona.
“Nhara pulang sama aku aja, kami
searah kok.”
Aku terbelalak dan langsung menatap Kai
tidak percaya, ku lihat Mona sudah tersenyum-senyum menahan tawanya yang akan
meledak.
“hah?”
“Hah? Hah? Apa? Mau protes? Tidak
bisa!” protes Kai terlebih dahulu.
Kami duduk bertiga di halte itu
menunggu taksi lewat, bukan untuk kami melainkan untuk Mona. Hujan pun tak
kunjung mereda malah semakin deras. Kai sibuk memainkan ponselnya, sedangkan
aku sudah ngiler melihat air hujan yang semakin deras itu. Lalu Mona, sibuk
dengan i-podnya.
Ku lirik jam sudah menunjukkan jam 6
sore, yang artinya sebentar lagi bakalan malam. Aku was was kalau kalau sampai
rumah sudah malam, pasti mamaku akan merepet. Untungnya, ayahku sedang berada
di luar kota mengurus kerjaannya, kalau tidak pasti repetan untukku bakalan
panjang.
Akhirnya, sebuah taksi pun melintas.
Aku benar-benar lega. Mona pun segera masuk ke dalam taksi itu, dia menurunkan
kaca taksi itu dan melambaikan tangannya padaku dan Kai. Aku pun membalas
lambaian tangan itu.
“Naik!” Perintah Kai padaku agar
segera naik ke keretanya.
Kereta pun melaju di jalanan kota
yang sedang diguyur oleh hujan, angin dingin pun menerpa hingga masuk ke dalam
tulang. Aku menggigil kedinginan, di tambah lagi dengan dressku yang sudah
basah oleh hujan. Untung-untung aku gak bakalan masuk angin.
Ciiiittttt
….
Suara decitan ban kereta ..
“Inikan bukan rumahku.” Ucapku
ketika Kai memberhentikan keretanya di depan sebuah rumah.
“Emang bukan.” Jawabnya
“Lalu?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, dia malah
mencagakkan keretanya lalu turun, aku pun mengikuti apa yang dikerjakannya
barusan. Dia lalu melepas jaket yang dikenakannya dan menyampirkannya padaku.
“Naik!” perintahnya setelah dia
sudah berada di atas keretanya lagi.
Kami pun meluncur menerjang jalanan
kembali, badanku sudah tidak menggigil lagi, ya walaupun masih dingin sih.
Selang beberapa waktu, Kai pun
kembali memberhentikan keretanya di depan sebuah rumah bercatkan putih. Tentu
saja ini rumahku. Aku langsung turun dari keretanya dan menanggalkan jaketnya
yang berada di badanku.
“Makasih ya, ini mau dikembaliin
sekarang atau nanti setelah dicuci dulu?” ucapku.
“Ambil aja! Anggap aja
kenang-kenangan dari aku.” Ujarnya manis.
“Sebagai gantinya, aku minta cincin
yang kamu pakai.” Ucapnya lagi.
“Untuk apa?” tanyaku kaget karena
dia meminta cincin yang aku pakai.
“Untuk kenang-kenangan kamu buat
aku.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Yasudah.” Balasku dan mencopot
cincin yang melingkar di jari manisku.
“OK!! Aku pulang ya Ra.” Dia pamit
setelah incin itu sampai ditangannya.
“Gak masuk dulu?” tawarku padanya.
“Lain kali aja, Bye Nhara.” Lalu dia
menancapkan gas keretanya.
Hari ini benar-benar indah, setahun
tanpa komunikasi lalu akhirnya kami berkomunikasi kembali, ini adalah mimpiku
yang terwujud, gak sia-sia aku memimpikan hal seperti ini setiap malam, bahkan
ini lebih indah dari yang aku mimpikan.
***
Kai, aku tidak pernah tahu bagaimana
bisa ada orang seperti dia. Dia adalah hadiah istimewa untuk ku. Aku cukup tahu
diri untuk memintanya sebagai hadiahku, tapi aku tidak bisa bohong kalau aku
ingin dia sebagai takdirku.
***
Keesokan paginya, entah kenapa tiba-tiba
ayah kesayanganku itu sudah berada di rumah dan menyuruh kami untuk berkumpul
di ruang keluarga, ternyata ayahku pulang dari urusannya tadi malam, mungkin
saat dia pulang aku sudah tertidur. Saat aku memasuki ruangan itu sudah ada
mama dan ayahku yang sedang mengobrol, dari raut wajahnya, pasti ada sesuatu
yang menggembirakan.
“Ada apa sih ma? Kenapa kami disuruh
kemari? Tumben sekali.” Tanyaku pada mamaku.
“Ayah di pindahkan tugas ke luar kota. Jadi ayah
mau, kalian semua ikut pindah juga. Bagaimana?” terang ayah sekaligus
memberikan pertanyaan baru.
“Horee… Sheina ikut-ikut saja deh
yah.” Sheina adikku bersorak gembira.
“Kuliah Vino
gimana yah?” tanya kakakku.
“Kuliah apa kak Tina?” godaku dengan menahan tawaan.
“Ya kuliahlah!.” Jawabnya sewot.
“Hahaha… becanda kak, serius amat sih. Pindahnya kemana yah?” kini
giliranku yang bertanya.
“Hmm… “ ayahku hanya tersenyum-senyum
tak jelas. Dia seperti memberikan kode kepada mamaku. Orang tua zaman sekarang,
sikapnya aneh-aneh saja.
“Kemana sih yah?” kini kakakku itu
yang berkoar.
“Kita pindah keluar negeri.” Ucap
mamaku sambil tersenyum.
“Hah?” serentak aku, Sheina dan kak Vino.
“Tepatnya dimana?” tanyaku
penasaran.
“Korea Selatan, Seoul.” Jawaban yang
benar-benar menakjubkan? SEOOOUULLL I’m comiiiinngg… Kota impianku, Negara
favoritku. My DREAM IS COME TRUUUEEE….. horeeeee… aku terlonjak kaget dan
menciumi ayah dan mamaku. Aku benar-benar senang, gembira dan terharuuu.
“Kita berangkat minggu depan, kalian
bersiap-siaplah. Sheina, kamu nanti bersekolah di Hannyoung High School, Nhara
di Konkuk University, Vino juga disitu ya. Ayah sudah siapkan semuanya. Jadi
kalian tinggal belajar saja bagus-bagus.”jelas ayahku.
“OK BOS!!” ucap kami serentak.
Aku berhambur masuk ke kamarku,
meloncat-loncat di tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka akan pergi ke kota
yang selalu menjadi topic mimpiku setiap malam. Lalu aku mengambil buku jurnal
Korea yang sengaja aku beli dari Gramedia. Ku peluk buku itu dengan sangat
erat, aku akan kesini, ke Korea.
Brruuuaaakkkk
Suara bantingan pintu membuatku
terlonjak kaget, ternyata itu ulah kakakku yang masuk ke kamarku denga kasar,
kenapa lagi dia?
“Kenapa sih kak? Masuk kamar orang
pakek acara banting-banting pintu segala.” Tanyaku heran karena melihat raut
wajahnya yang muram.
“Ra, kakak senang sih bisa ke Korea.
Tapi ada sedihnya juga.” uda deh, mulai deh curhatnya, kalau sudah begini pasti
dia bakalan cerita panjang kali lebar sama dengan luas.
“Sedih kenapa kak? Pasti ini mau
bicarain kak Tina kan?” dari roman-romannya sih pasti tentang kak Tina, pacar
dari kak Vino.
“Emang mau siapa lagi.” Jawabnya
ketus.
“Hahaha, takut jauh dari dia? Lucu
banget sih! Kalau jodoh gak bakalan kemana kali kak. Mau sejauh apapun kalian
kalau memang sudah takdir bakalan sama-sama kok.”
“Iya sih Ra. Tapi kakak takut
kalau-kalau dia itu jadi berpaling gitu” ucapnya, mungkin inilah salah satu
keluh kesah dari kakakku ini.
“Ya bagus, berarti dia itu tidak
setia. Untuk apa di pertahanin.”
“Benar juga. Iya sudahlah.” Lalu dia
bangkit dari dudukannya dan mengelus rambutku “belajar bagus-bagus!.” Tambahnya
dan berjalan keluar.
Sepeninggal kak Vino aku
membaringkan badanku ke ranjangku, pikiranku mengangan sampai menjebol atap
kamarku. Bisa-bisanya aku berkata seperti itu pada kak Vino, sementara aku sama
sekali belum bisa melepas Kai dengan sepenuhnya.
“Haaaah…
benar juga. kalau aku pindah pasti aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Ya
ampun, padahal baru semalam aku bisa berkomunikasi dengannya lagi. Tapi, ada
untungnya juga aku pindah, dengan begitu aku mungkin bisa melupakan dia cepat
atau lambat. Ini hanya soal waktu.” Ucapku dalam batin.
***
Waktu seminggu itu sangat cepat, sepertinya perlengkapanku
semuanya sudah beres, sejam lagi kami akan pergi ke bandara dan melesat ke
Korea. Hari ini akan menjadi hari perjalanan yang panjang buatku. Dari kota di
provinsi Indonesia, lalu ke Jakarta dan lalu menuju tujuan utama, aku tidak tau
bakalan ada transit lagi atau tidak setelah dari Jakarta.
Hari ini aku mengenakan baju berwarna hijau berlengan panjang,
bentuknya seperti baju kewer-kewer gitu, aku tidak tau apa namanya, jangan
tanyakan hal fashion denganku, aku dengan senang hati akan menjawab “Tidak tahu.” Aku kurang berpengalaman
dengan fashion. Lalu mengenakan hot pants jeans putih, serta sepatu kets
berwarna coklat kotak-kotak putih. Rambutku hanya ku ikat longgar, mengenakan
jam tangan silver ditangan kananku. Dan ditanganku selalu ada jaket yang diberikan
Kai padaku waktu itu.
Perjalanan pertamaku tiba, kami
sudah berada di dalam pesawat menuju Jakarta. Aku duduk dengan kakakku, kak Vino.
Dia itu sedang sibuk mempelajari bahasa korea, katanya supaya tidak terlalu
memalukan saat sudah sampai disana. Sementara aku dan Sheina tidak perlu
bersusah payah untuk belajar bahasa korea, karena kami adalah K-Pop.
“Ra, nanti disana kamu panggil kakak
…”
“OPPA, aku sudah tau.” Aku memotong
ucapannya dengan cepat, lebay banget sih kak Vino. Baru belajar udah nyuruh-nyuruh
gitu.
“Pinterrr..” ucapnya sambil
tersenyum.
Membosankan juga terus berada dalam
pesawat, hanya ada awan dan langit yang biru yang bisa di lihat, ah!
Membosankan, lebih baik aku ngemil saja.
Waktu 2 jam itu mungkin terasa
sebentar, tapi hari ini begitu lama, karena aku hanya mendekam di dalam
pesawat.
Jakarta, akhirnya sampai juga. aku
tidak terlalu suka disini, disini padat dan panas, pengap lagi. Kami mencari
tempat makan sekalian menunggu jadwal untuk penerbangan selanjutnya. Banyak sekali
gadis-gadis yang kuperhatikan memperhatikan kakakku Vino. Kuakui saja, dia itu
benar-benar tampan.
“Aku risih di perhatikan seperti
itu.” ujar kak Vino.
“Kakakkan terkenal, jadi wajar
saja.” Ucapku menahan tawa.
“Wow!! Apa nanti di Korea sana kakak
bakalan diperhatiin kayak gitu juga ya? Atau
mungkin jadi namja paling buruk yang ada disana.” Ujar polos Sheina yang
ikut nimbrung dalam obrolan kami.
“Namja?” kak Vino heran dan langsung
membuka jimatnya itu. sementara aku dan Sheina sudah terkekeh geli melihat
tingkahnya.
Ngobrol ngalur ngidul bersama
saudara-saudaraku memang tidak ada hentinya, sampai-sampai kami tidak sadar
bahwa makanan yang tadi sudah di pesan sudah ada di hadapan kami. Waktu
makanpun kami tetap saja bercanda-canda.
Uhhuuuukkk
uhhhuuukkk
Sheina keselek karena terlalu ngekeh
ketawa.
“Sudah-sudah, makan saja dulu.
Ngobrolnya nanti saja di lanjutkan.” Ujar mamaku sambil menepuk-nepuk pundak Sheina.
“Sesuaikan diri selama disana,
jangan jadi kuper. Tapi jangan juga kelewatan, ayah tidak mau itu.” ujar
ayahku.
“Disana, kami manggil ayah dengan
sebutan appa saja ya, dan mama kami panggil eomma ya.” Pinta kak Vino, dia ini
benar-benar terhipnotis atau bagaimana. Berlebihan sekali.
“Hmm..” jawab ayahku, oppss appa
maksudku, hehehehe…
Drrtt
drrrttt drrtt
Tiba-tiba dering getar sms dari hpku
bergetar. Setelah kulihat ternyata itu dari Mona.
Uda
sampai dimana Ra? Kai tadi nanyain kamu ke aku. Tapi tenang aja, aku jaga
rahasia kok, hehehe …
Apa? Kai? Nanyain aku? Untuk apa? Beribu pertanyaan muncul di
benakku saat tau bahwa KAI mempertanyakan keberadaanku, bukan maksudku untuk
menghilang, hanya saja ini adalah jalan untuk melupakannya secara total.
Masih
di Jakarta Mon, doain aku ya agar sampai tujuan dengan utuh.
Begitulah isi pesanku kepada Mona, tidak lama hpku bergetar lagi.
Pasti,
jangan sombong ya kalau uda disana.
Aku tersenyum geli membaca pesannya, sahabatku ini memang yang
terbaik. Aku tidak akan melupakannya, tidak akan pernah.
Sippp
buk!! Hahaha :D
Itu smsku sebagai penutup smsku dengan Mona, karena sebentar lagi
kami akan take off. Jadi yang bernama peralatan elektronik wajib dimatikan.
***
Berjam-jam sudah, akhirnya aku menginjakkan kaki di sini KOREA.
Aku benar-benar menikmati pemandangan ini, pemandanga yang benar-benar indah di
mataku, ibu kota Negara memang, tapi tidak sepengap dan sepadat Jakarta, bukan
maksudku membandingkan. Tapi memang itu kenyataannya.
Rumah kami disini sangat sangat
besar, entah berapa harga rumah ini, yang jelas ayahku oppss, appa maksudku,
telah mengatur semuanya. Rumah bergaya eropa ini bercatkan putih, tidak
bertingkat tapi meluas. Dari pagar sudah terdapat taman hingga pintu utama
rumah, di tengah halaman ada air pancur kecil. Lalu ada jembatan kecil untuk
menuju pintu utama, aku menelusuri rumah ini, di halaman belakangnya terdapat
taman yang luas. Sebagian dari rumah ini adalah kaca, sehingga sinar matahari
dapat menerobos masuk hingga ke dalam, rumah ini benar-benar bersinar.
Lalu, aku memasuki kamarku.
Dindingnya bercatkan putih hitam kotak-kotak seperti papan catur, desainnya
sangat elegan. Disana sudah terdapat kamar mandi pribadi, tempat tidur king
size, meja belajar, interior-interior mewah dan sederet lemari.
Satu kata “It’s amazing”.
Aku membaringkan tubuhku yang sudah
sangat kelelahan ini, bermaksud untuk rileks sebentar, dan ternyata setan-setan
pengganggu datang dan membuatku terlelap.
***
“Hooaammmmm” aku mengeliat
saat terbangun dari tidur pendekku, ku lirik jam yag bertengger di dinding
menunjukkan jam 8 malam. Dengan langkah gontai aku melangkahkan kakiku ke kamar
mandi, ku hidupkan air untuk sekedar mencuci mukaku. Setelah merasa agak
segaran, aku kembali ke kamarku mengambil pakaian dan kembali lagi ke kamar
mandi.
Air memang menyejukkan, setelah
mandi aku pergi menuju ruang makan dirumah ini, disana sudah ada ayah, mama,
kak Vino dan Sheina. Heum, ternyata mereka terlebih dulu makan.
“Wah, putri tidur sudah bangun.”
Ledek kakakku saat aku sudah duduk bergabung dengan mereka.
“Ck, biasa saja.” Ucapku datar.
“Sheina, kamu sudah bisa masuk
sekolah 2 hari lagi.” Ujar ayahku di sela-sela makan.
“Cepat sekali! Tapi, Sheina tidak
tau jalan disini.” Ujarnya.
“Ayah yang antar nanti.”
“Lalu Vino dan Nhara gimana?” tanya
kakakku yang mengesalkan itu.
“Vino minggu depan sudah bisa masuk, ayah akan memberikan
kendaraan buat Vino, Nhara mungkin bulan depan, karena penerimaan mahasiswi
baru.” Jelas appaku.
Setelah makan malam, dan melakukan
berbagai aktifitas setelahnya. Aku kembali ke kamar dan langsung bergegas ke
pulau kapuk. Tanpa pikir panjang, kurasa aku sudah berada di langit kayangan.
Hari ini benar-benar melelahkan, tak
pernah kubayangkan. Bahwa sebagian hidupku akan berada dan berkisah disini, di
Negara impianku. Aku sangat bersyukur atas anugrah ini, dan aku berharap disini
aku bisa menemukan seseorang yang bisa menggantikan Kai sebagai takdirku.
***
Sinar-sinar mentari itu menerobos masuk hingga mataku, dengan
susah aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang kesilauan. Hem, ternyata sudah pagi.
Aku lalu turun dari pulau itu dan menuju kamar mandi, mencuci muka dan menyikat
gigiku. Lalu aku keluar dari kamar.
Tttttiinnnn
tttiinnn …
Seperti suara klakson mobil, aku
pergi ke halaman depan untuk mencari sumber suara, ceklek, sebuah mobil Ferrari merah sudah terparkir manis di depan
rumahku. Kak Vino sudah melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum-senyum.
“Wow!! Jadi ini janji ayah
memberikan kakak mobil?” tanyaku dengan ekspresi kaget pada kak Vino.
“Hm, bagaimana menurutmu?” tanyanya
dengan tampang cool. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Tidak usah terlalu kaget begitu kak,
kakak juga dapat.” Tiba-tiba suara Sheina beerada di belakagku.
“Maksudmu?” tanyaku heran karena
ucapannya.
“Tuh!” dia menunjuk sebuah mobil berwarna putih yang berada tidak
jauh dari Ferrari itu.
“yaampun!! Itu untuukku?” tanyaku
heran.
“Tentu saja.” Jawab mereka dengan
serempak. woow, mobill-mobiill,,, benar-benar awal hari yang menyenangkan.
***
Setelah ini itu, mandi, sarapan dan
segala macam bentuk aktifitas pagi hari, aku segera meminta peta kepada ayahku
yang sedang berada di ruang kerjanya. Rencananya, aku bakal berkeliling kota
sekaligus negaraku yang baru.
“Nhara, kalau bisa kamu sempatkan
untuk pergi ke universitasmu dan sekolah Sheina. Agar kamu tahu jalan,
sepertinya ayah tidak bisa selalu mengantar Sheina kesana, pekerjaan ayah
terlalu banyak.” Pinta ayahku, ya aku menurut saja. Toh, yang diucapakannya
benar juga.
“Universitas itu berada di jalan
mana yah?” tanyaku penasaran.
“Di
gwangjin, kamu lihat peta atau GPS saja.” Ucap ayahku.
“Baiklah!.”
Ucapku dan segera pergi dari ruangan kerja ayahku itu.
Langsung saja aku mengambil tas
selempang yang biasa ku kenakan untuk berpergian, dan segera menuju halaman
depan.
“Mau langsung di coba ya mobil
barunya?” ledek kakakku yang masih berada disana, sedang bermain basket.
“Hanya mau mencari tempat-tempat
menarik di kota ini, sekalian mau mencari alamat kampusku nanti.” Jawabku
menjelaskan.
“Kak, bisa tidak kau cari juga
alamat sekolahku dimana. Lihat juga sekolahnya bagaimana.” Pinta adikku Sheina
yang juga berada di sana.
“Hmm, seingatku Hannyoung High
School itu ada di gangdong. Tapi nanti kakak akan mencoba melihat kesana dulu,
benar atau tidak berada disana.” Jawabku sambil mengingat-ngingat, seingatku
memang di gangdong.
“Hahaha,, seperti tau nama jalan
disini saja.” Ledek kak Vino lagi.
“Akukan hanya mencoba, tidak
mungkinkan akan terus dirumah saja sepanjang tahun. Memangnya dirimu, mungkin
daerah rumah kita saja kakak tidak tahu.” Ledekku balik.
“Tentu saja kakak tahu, ini di
gangnam kan?” tantangnya, dan sialnya tebakannya benar. Dari pada meladeninya
lebih baik aku segera masuk ke mobilku saja.
“Ck.” Decakku kesal sebelum berlalu
menaiki mobil.
“Awas nanti menelponku jika
tersesat!!!.” Ancam kakakku yang menyebalkan itu dari luar, cuiih, dia
mengancam sambil terkikik-kikik?
Lebih baik sekarang aku mulai
mengontrol moodku dengan baik, mengingat kelakukan kakakku yang semakin
menyebalkan. Ingatlah Nhara disini adalah kota idolamu, Cho Kyuhyun. Jangan rusak panaroma keindahan yang baru saja akan
kau lihat.
Ku lesatkan mobilku mulai ke jalan
raya, yah. Jujur saja, disini memang agak sedikit crowded. Tapi ini lebih
lenggang dari ibu kotaku dulu. Status warga Negara kami masih Indonesia, hal
itu karena kami pindah bukan karena kemauan tersendiri tetapi karena ada urusan
dari pekerjaan ayahku.
Bisa kukatakan, kalau ayahku itu
pengusaha yang sukses, dia menggelut di dunia pendidikan, tapi dia juga
membantu usaha designer yang dijalankan ibuku. Banyak lembaga-lembaga pndidikan
yang dikerjakannya di Indonesia, dan sekarang dia sedang melakukan penelitian
pendidikan di Negara ini.
Satu-satunya tempat yang aku tahu
pasti hanyalah bandara nasional Incheon, ck mengesalkan. Tidak mungkinkan aku
bertamasya disana? Lebih baik aku search om google aja. Hmm,, mungkin aku ingin
tahu dimana letaknnya Han River itu, bukankah itu tempat yang paling
menenangkan? Tidak! Itu lebih menjadi tempat idamanku. Mumpung ada disini,
kenapa tidak kujelajahi saja tempat-tempat yang menjadi idamanku. Hahaha, kau
benar Nhara. Lagian, waktu masuk universitasmu itu masih lama, kau mau jadi
orang bego di rumah? Setidaknya kau tidak akan memalukan jika ditanya
tempat-tempat penting di Negara ini.
Got it. Ah! Ternyata sungai Han
berada di selatan kota Seoul. Baiklah-baiklah, aku akan kesana detik ini juga.
chuuusss!!! …
Han River, south Korea
Waahh … kau memang pintar Nhara,
pilihanmu tidak salah untuk kemari. Tempat ini, tempat ini lebih memukau dari
yang kau lihat diinternet. Panorama tamannya benar-benar indah, apalagi dengan
adanya taman Yeouido dan taman Nanji. Omo, mungkin ini akan menjadi tempat
favoritku selama disini. Aku akan menangis darah kalau tidak bisa ketempat ini
lagi.
Aku segera mengambil tempat yang
langsung menghadap aliran sungai Han. Ah! Udaranya benar-benar segar. Hm, siapa
sangka tempat yang dulunya menjadi tempat pembuangan sampah kota Seoul akan
menjadi tempat seindah ini, yah itulah taman Nanji. Aku akan membawa mama,
ayah, kak Vino dan Sheina ketempat ini. Kemping disini rasanya tidak terlalu
buruk, malah lebih menyenangkan.
Hm!! Hampir saja aku melupakan
sesuatu.
Potret! Aku memang berencana akan
memotret ria selama disini, untuk kenangan pribadi. Aku tidak tahu akan berada
disini berapa lama dan aku sama sekali tidak mau kehilangan momen menyenangkan
ini, tidak ada kesempatan kedua bukan?
Cekrek
… cekrek … cekrek
Oh bagus, aku sama sekali bukan
pemotret yang baik. Hasilnya benar-benar buruk. Kau harus belajar memotret
Nhara.
“Hei, annyong!.” Seseorang menepuk
pundakku saat aku merutuki diriku yag bodoh ini.
“Hm, nde?” ya ampun, kenapa kau
menggunakan bahasa Korea Nhara? Kau kan tidak terlalu fasih dengan bahasa ini.
Kau mau mati hah? Jika sampai orang ini menggunakan bahasanya lebih jauh dari
dugaanmu.
“Neo..”
“I can’t Korean speaking very well.”
Aku memotong ucapan gadis ini ketika tahu dia akan menngunakan kalimat yang
mungkin sangat menyulitkanku.
“Hm,” dia tersenyum sekilas. “So,
you aren’t from here.” Lanjutnya lagi.
“Right! I had been here yesterday.”
Jawabku pada gadis ini, menurutku dia sangat imut. Nhara, bukankah kau tahu
jika gadis disini memang imut-imut.
“Jinjja?” aku tahu pasti arti dari
ucapannya. Aku sering mendengar kata ini di drama korea.
“Ne. Waegurae?” kau terlalu
sok-sokan Nhara. Pikirkanlah akibat yang akan kau tanggung.
“Aniya! You are like Korean girl. I
just want to say hello with you. Maybe, we can be friend. So very happy if have
a beauty friends like you.” Ucapnya yang sukses membuatku merona. Aku? Aku
seperti gadis korea. Sungguhkah? Bukankah mereka itu sangat-sangat mempesona.
“Ah!” ucapku salah tingkah dan
menggaruk tengkuk belakangku yang sama sekali tidak gatal.
“So, iremi muosimnika?” tanya gadis
imut ini.
“Nhara imnida.” Jawabku sembari
menyambut uluran tangannya. Tangannya benar-benar halus dan lembut.
“Hmm … Hye-Sun, Lee Hye Sun imnida.”
Dia menyebutkan namanya sendiri, nama yang manis Hye-Sun.
“Nhara-ssi, do you want sit on that
chair?” Hye Sun menunjuk bangku yang tadi kududuki, yah memang tadi aku
berjalan menjauh dari bangku itu untuk mengambil gambar yang buruk ini.
“Ne.” jawabku singkat, dia hanya
tersenyum kecil dan menarik lenganku untuk ikut bersamanya menuju bangku itu.
Ku perhatikan, selama kami duduk
bersebalahan disini. Dia hanya menatapiku yang sedang memutar-mutar kamera
canon ini. Ah, bukan! Aku memang sedang salah tingkah, bukan kesukaanku jika
ditatapi begini terus. Gadis ini aneh juga.
“Nhara-ssi, odieso wassemnika?”
akhirnya yeoja ini membuka mulutnya juga.
“ Indonesiaeso wassemnida.” Jawabku
singkat.
“Hm, gajogi odie samnika?” tanyanya
lagi.
“Gangnam-gu samnida.” Aku
benar-benar seperti orang bodoh berbicara dengan gadis ini, bukankah dia ini
tahu aku bukan warga korea asli, kenapa dia terus menanyaiku dengan bahasa itu.
Apa dia itu mengidap amnesia sedetik?
“Nhara-ssi ..”
“YAK!! Are you forgetting something?
I CAN’T KOREAN SPEAKING.” Segera ku potong ucapan yeoja gila ini dengan sedikit
berteriak. Aku bisa setres memutar otakku hanya untuk mengerti apa yang
diucapkannya.
“Hahaha.” Tertawa? Kenapa dia malah
tertawa? Apa menurutnya ini lucu? Sama sekali tidak! “Mianhe!” lanjutnya masih
dengan tawaan kecil. Aku kembali duduk di bangkuku, ya memang tadi aku sentak
berdiri karena emosi.
“Mianhamnida! I’m still not believe
if you are Indonesian girl.” Apa dia ini mau membuatku sesak nafas, ayolah, aku
tidak akan terlihat semenarik kalian.
“It’s your problem Hye-Sun ssi.”
Ucapku sedikit ketus.
“Can I borrow your phone?” pintanya
tiba-tiba, ck yeoja ini memang tidak tahu adab, baru membuatku kesal sudah
berani meminjam hpku.
Langsung saja ku sodorkan hp tipe
I-phone 4 ini padanya, dari pada dia terus menunjukka tampang aegyonya yang
membuatku iri itu.
“Gomawo.” Ucapnya manis. Ku
perhatikan dia mengotak-ngatik hpnya dan hpku. Sebenarnya apa yang di lakukan
yeoja ini. Semenit kemudian dia mengembalikan hpku kembali.
“Hm, I think I must go out from
here, Nhara ssi. I’ve other work after this. I hope we will meet again soon.
Ok! Annyong.” Dia tersenyum dan segera membalikkan badannya untuk berlalu
pergi. Hanya baru beberapa langkah dia berbalik badan dan melambaikan tangannya
padaku, sentak saja aku langsung melambai padanya juga.
Hm, sendiri lagi.
Aku terus saja menatap sungai itu
lekat-lekat. Udaranya benar-benar menyenangkan. Tiba-tiba suau tempat indah
terlintas di otakku, Namsan Tower. Yupz,
aku memang harus segera kesana. Tapi, bukankah tu berada di bukit Namsan. Tentu
saja, yang otomatis itu berada di jantung kota seoul ini. Aigo, mungkin besok aku kesana, mengingat ini
sudah menunjukkan pukul 3 sore. Tapi, seingatku jika pergi kemenara itu sangat
lebih menyenangkan jika malam hari. Ash, baru membayangkannya saja sudah membuatku
merana, mana mungkin ayahku yang baik itu memberi izin anak gadisnya keluar
malam-malam. Apalagi akukan baru disini. Sudahlah, lebih baik aku pulang saja
dan mencari tempat makan, mengingat aku belum makan siang dari tadi.
On the road, at Gangdong, Seoul
Aku sudah berjanji pada adikku
Sheina untuk melihat sekolahnya. Yah memang benar dugaanku, Hannyoung High
School itu memang berada di gangdong. Bangunannya sangat besar dan mewah, tentu
saja. Inikan salah satu sekolah favorit disini, mana mungkin sekolah favorit
bentuknya jelek.
Berputar-putar begini bukannya
menyenangkan, malah membuatku semakin lapar. Mataku masih saja jelalatan
melihat kedai-kedai yang menjual berbagai macam makanan, tapi sayangnya belum
ada yang menarik minatku. Sampai … OMO!! Kedai itu memasang pamphlet makanan
bibimbab, itukan makanan yang sangat kuidam-idamkan dari dulu. Ayo ayo, kau
akan segera ku lahap bibimbap sayaangg …
Setelah memarkirkan mobilku, aku
setengah berlari menuju kedai itu. Aku langsung berhadapan dengan pelayannya
dan tanpa meilhat buku menu aku memesan bibimbap dengan mantap. Aku menduduki
sebuah bangku yang berada di pojokan kedai ini, sambil menunggu pesanan aku
mengambil hpku dan memainkannya. Aku jadi teringat dengan kelakuan Hye-Sun pada
hpku. Baru saja aku membuka hpku, sudah ada pesan memo yang muncul yang
bertuliskan
“Kita akan segera bertemu
kembali Nhara ssi. Kau teman yang manis.”
Ck, jadi ini kerjaan Hye-Sun. Pasti dia memanfaatkan tante google
translate untuk semua ini.
Tak berapa lama, pesananku datang. Melihatnya saja aku sudah
ngiler-ngiler. Setelah memastikan pelayan itu pergi. Aku langsung melahap
makanan yang di depanku ini dengan rakus.
“Ah, ini benar-benar nikmat.” Ucapku di sela-sela makan.
Nhara’s home, Gangnam gu, at 8.30
P.M
“Nharaa,
dari mana saja hah?” teriak kakakku saat aku
baru saja memakirkan mobilku di halaman depan.
“Bukannya tadi aku sudah pamit
padamu?” jawabku singkat. Dia ini benar-benar merusak moodku yang sedang baik.
“Tapi tidak sampai malam begini, pergi dari jam 10 pagi dan pulang hampir jam
9. Apa yang kau lakukan diluar sana hah?” repetnya lagi sambil berdecak
pinggang dan berteriak-teriak.
“Yaampun, bagaimana bisa ada gadis
yang menyukai pria bawel sepertimu?” frontal saja kalimat itu terucap dari
bibirku ini. Tanpa berpikir bahaya apa yang akan kudapat setelah ini, tapi
menelik dari sikapnya wajar saja aku mengatakan itu, pria idaman di kotaku dulu
tengah berteriak-teriak heboh melebihi isi kebun binatang? Bukannya itu patut
untuk dipertanyakan?
“Apa? Apa yang barusan kau ucapkan?”
terlihatan guratan emosi di matanya, yah biarlah dia berexpresi semaunya.
Moodku sedang baik hari ini, aku tidak mau kehilangan moodku gara-gara dia.
“Tidak ada! Kau hanya salah
pendengaran kak. Adikmu yang manis ini mau masuk dulu ya oppa, annyong!.”
Ucapku ramah sambil tersenyum sebelum meninggalkannya yang masih
mengumpat-ngumpat di halaman sana.
Dengan riang gembiranya aku
melangkah hampir setengah meloncat-loncat kegirangan, sampai sebuah suara yang
memekakkan telinga membuat moodku buruk.
“YAK!! KAK!! KAU MASIH INGAT PULANG
HAH?” siapa lagi jika bukan Sheina.
“Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak
malam-malam?” deg, suara itu bukannya suara mamaku, OMO, bagaimana ini. Bisa
mati aku jika mama sampai tahu apalagi jika dia mengadu pada ayahku.
“Lihatlah anak gadis ini Ma, pulang
sampai malam begini.” Dasar adik menyebalkan, dengan seenak perutnya dia
menunjukkan telunjuknya ke arahku.
“Nhara?” melihat raut wajahnya saja
sudah membuatku down.
“Maaf ma, seandainya Nhara tahu
jalan pintas, pasti Nhara akan memilih jalan itu agar sampai ke rumah lebih
awal.” Ucapku sambil tertunduk takut.
“Dimaafkan! Ini peringatan awal dan
terakhir Nhara-ya.” Aku sangat terkejut mendengar penuturan ibuku ini. Bukan!
Bukan karena dia memaafkanku, tapi karena dia menggunakan embel-embel di
belakang namaku, Nhara-ya.
“Mama!” seruku sangking kagetnya.
“Ck, sudahlah jangan berlebihan.
Bukankah kalian yang mau supaya ayah dan mama begini?” tanya mamaku balik.
“Ne eomma.” Ucapku senang seraya
memeluk erat eommaku ini. Dia benar-benar ibu yang pengertian.
Setelah berbenah dengan diri
sendiri, aku memutuskan untuk bergabung di ruang keluarga. Karena sepertinya
dari tadi aku mendengar keributan yang bersumber dari sana. Dan benar saja,
begitu aku sampai di ruang itu, semua penghuni rumah ini sudah berkumpul disana
, tanpa terkecuali termasuk pelayan rumah ini, mereka sedang menghidangkan
makanan ringan untuk ayah dan mamaku, dan berlalu pergi.
“Vino ingin kuliah di Kyunghee
saja.” Itulah kalimat awal yang ku dengar saat aku baru saja menduduki sebuah
bangku tepat disamping Sheina yang sedang memainkan I-padnya.
“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?”
tanya ayahku pada kakak sematawayangku ini.
“Hm, jujur saja. Vino lebih menyukai
di bidang seni daripada bisnis dan pandidikan.” Jawabnya ringan.
“Bukan karena kakak ingin meniru
Kyuhyun Oppakan?” celetukku tiba-tiba dan langsung mendapat sorotan tajam dari
kakakku ini.
“Kau kira aku seperti mu!” ucapnya
sewot.
“Lalu, jika bukan Vino siapa yang
akan meneruskan lembaga pendidikan kita?” tanya ayahku serius pada kak Vino.
“Ayah tenang saja! Semua sudah Vino
pikirkan matang-matang. Kyunghee juga memiliki pelajaran tentang bisnis dan
pendidkan. Vino akan mengambilnya juga. Walaupun nanti Vino tidak akan terlalu
focus kesana. Tapi, ayah tenang saja. Lembaga pendidikan kita tidak akan
berlalu begitu saja.” Ucap kakakku dengan mantap.
“Kamu serius nak?” tanya mamaku kali
ini dengan tampang ragu.
“Tentu saja ma!.” Jawabnya yakin.
“Baiklah! Jika memang ingin begitu.
Tapi, ayah ingatkan! Jangan main-main dengan keputusan ini, dan jangan sampai
lembaga menjadi imbasnya. Mengerti?” sebuah peringatan keluar dari bibir ayahku
setelah bebrapa saat dia menimbang-nimbang.
“Mengerti.” Ulang kakakku seraya
tersenyum.
1 year later
“Hei!!!
Putri tidur, banguuunnn.”
Ya ampun, kenapa pagi-pagi begini
sudah berisik. Aku masih mengantuk. Suara apalagi tu? Seperti alaram kebakaran
saja. Memekakkan.
“JANGAN MEMBUATKU TERLAMBAT LAGI
GADIS BODOH!.” Bentak seseorang yang sedang menarik-narik selimutku yang
nyaman. Dengan tenaga yang belum ada aku mencoba mendudukku badanku dan
bersandar di punggung tempat tidur ini.
“Ada apa?” semprotku pada adik
sematawayangku ini.
“Ck, antar aku ke sekolah! Ini sudah
jam setengah 7.” Jawabnya.
“Huh!! Kau tunggu saja di luar, aku
akan bersiap-siap.” Ucapku datar seraya meneguk air putih yang berada di meja
kecil tepat di samping tempat tidurku.
“Dan membiarkanmu tertidur lagi?
TIDAK!! Aku akan menunggu disini.” Sejak kapan anak ini menjadi pintar? Aku
memang berencana tidur 10 menit lagi.
Sudahlah, lebih baik aku bangkit
saja sekarang. Toh, aku ada kelas jam 11 nanti. Menjajaki kamar dengan kepala
linglung bukan hal yang menyenangkan. Apalagi aku merasa masih di kerajaan
kayangan.
Tepat mulai dari 1 tahun yang lalu
aku sudah aktif berkuliah, benar-benar memusingkan mengambil jurusan bisnis.
Ini bukan kesukaanku, tapi ini karena pembuktian baktiku pada orangtua yang
menginginkanku masuk ke jurusan bisnis.
“Cepat sedikit.” Teriak adikku dari
luar halaman saat aku sedang menalikan sepatuku.
5 menit kemudian, mobilku sudah
berada di jalan raya. Distrik pertama yang kutuju tentu saja Gangdong, tempat
Sheina bersekolah. Lalu Gwangjin tempat kampusku berada.
“Kenapa tidak minta antar Kak Vino?”
tanyaku dengan perasaan kesal.
“Dia sudah berangkat jam 6 tadi.”
Jawabnya datar. Jam 6? Sejak kapan bangkai busuk itu bisa bangun jam 6 pagi?
Paling cepat saja jam 10 pagi. Ah! Pasti mama yang membangunkannya.
Ah, sial. Kenapa perutku keroncongan
begini? Hm, aku baru ingat kalau aku tadi tidak sarapan karena terus di desak
adikku ini agar segera mengantarnya ke sekolah. Sedikit ku perdalam injakan
gasku agar segera sampai ke Gangdong. Perutku benar-benar mengulah pagi ini.
Sreett
..
Suara
gesekan ban mobilku, tentu saja menandakan mobil ini sudah berhenti. Sheina
langsung melepaskan seltbeltnya dan turun dari mobilku.
“Gomawo eonni.” Ucapnya dan segera
berlari menuju gerbang sekolahnya.
Bagaimana dengan nasibku? Lebih baik
aku mencari makanan saja. Setelah kuingat-ingat, bukannya disini ada kedai
bibimbab? Ya tentu saja! Aku kembali menyusuri distrik ini untuk mencari
keberadaan tempat itu. Hingga aku melihat sebuah pamphlet bibimbab, dan segera
aku meyakini bahwa itulah tempatnya.
Deg
Entah ada apa denganku hingga
membuat jantungku memompa cepat saat menginjakkan kaki di kedai ini. Padahal
sebelumnyakan tidak begini. “Kai” gumam
batinku. Kenapa dia? Kenapa dia lagi yang aku pikirkan? Bukannya hampir bebrapa
bulan ini aku sudah hampir melupakannya bahkan untuk sekedar mengingatnya pun
tidak. Lalu kenapa begini? Apa aku merindukannya?
Semakin aku memasuki kedai ini,
pikiranku tentang dia semakin dalam. Ayolah Nhara, itu mustahil sekali untuk
dibayangkan. Sudahlah, lebih baik kuurungkan niatku untuk makan disini, semakin
lama disini pasti aku akan semakin mengingatnya.
Segera saja aku setengah berlari
menuju mobilku, dan anehnya aku merasa ada hal yang janggal di benakku. Tapi
entahlah, aku juga tidak mengerti. Yang jelas aku harus segera meninggalkan
tempat ini. Akan lebih baik jika aku duduk mendengarkan dosen tua di kampusku
daripada merasakan hal aneh ini.
Konkuk University at Gwangjin
In the Canteen…
Makan dikantin juga tidak
masalahkan? Yang penting lambungku terisi dan tidak kosong. Huuh.. kuperhatikan
sedari tadi banyak sekali mahasiswi maupun mahasiswa berlarian menuju taman
depan kampus, ada apa ya? Apa ada artis terkenal yang datang kemari? MUngkin
saja Super Junior? Wooaa…
Dengan naluri yang kuat, aku
beranjak dari tempatku berada dan menuju kerumunan ramai itu. Tapi anehnya,
semakin aku mendekat perasaan aneh itu muncul lagi. Hatiku mengatakan bahwa aku
harus melihat pusat keramaian itu, tapi otaku melarang keras kakiku untuk
melangkah kesana. Ash.. menyusahkan! Sudahlah, lebih baik aku ke kelas saja.
Toh sebentar lagi juga masuk.
“Hai Nhara!” Sapa Hae Rin seraya
melambaikan tangannya padaku, mengingat dia sudah berada di mulut pintu kelas.
Segera saja aku membalas lambaiannya itu.
“Hai! Why you not come in (Kenapa
kau tidak masuk)?” sapaku balik setelah sudah berada ditempat yang sama
dengannya. Tidakkah kalian bertanya kenapa aku menggunakan bahasa Inggris? Ini
karena aku tidak bisa berbahasa korea dengan fasih. Dan untungnya semua temanku
disini mengerti akan hal itu.
“Waiting you, Nhara (menunggumu,
Nhara).” Jawabnya seraya menarik tanganku untuk masuk ke dalam kelas. “Have you
heard that? (Apa kau sudah mendengarnya)” lanjutnya lagi setelah kami sudah
duduk di bangku masing-masing.
“Hear about what? (Mendengar tentang
apa)” tanyaku penasaran seraya menautkan alisku, bukannya menjawab gadis ini
malah senyum-senyum aneh begitu. “Can you explain to me! (Bisa kau jelaskan
padaku)” tuntutku karena tak kunjung mendapat jawaban.
“I can’t. You will know by yourself
later (Aku tidak bisa. Kau akan tahu sendiri nanti).” Jawabnya seraya
mengerling genit ke arahku, membuatku bergeming merinding.
“Dasar aneh.” Umpatku kesal.
“What did you say?” tanyanya heran
karena aku tidak menggunakan bahasa yang dapat ia mengerti.
“Never mind.” Sahutku asal dan
segera memalingkan wajahku ke depan kelas karena dosen tua itu sudah masuk.
15 menit sudah dosen ini menjelaskan
di depan sana, tapi sialnya satu pun tidak ada yang singgah di kepalaku, bahkan
sekedar lewat saja pun tidak. Ais, menyusahka! Lagipula, kenapa aku jadi
kehilangan konsen begini? Kuedarkan pandanganku keseluruh ruang kelas ini, dan
sialnya mataku malah tertumbuk pada Kang Sung Jae, pria yang sudah diketahui
seluruh kampus ini bahwa dia menyukaiku dan nyaris mngejar-ngejarku. Dan lebih
sialnya lagi dia sepertinya telah memperhatikanku dari tadi, dengan tatapan
yang err misterius.
“So, you’ve started to like him?
(Jadi kau sudah mulai suka dengannya?)” bisik Hae Rin ditelingaku dengan
lembut.
“Who? (Siapa)” tanyaku seakan tidak
mengerti.
“Sung Jae of course.” Sahutnya
sambil cekikikan kecil, karena tidak mungkin dia mengeluarkan suara beruang
ganasnya disini.
“Damn you!” aku menghela nafas dan
kembali untuk memfokuskan diri pada dosen yang tua ini, yah walaupun hasilnya
juga bakalan sia-sia. Aku sama sekali sudah kehilangan konsentrasi.
In Garden, at Konkuk University
Sudah
sejam yang lalu aku mendekam di kursi putih di taman belakang kampusku ini.
Sambil mendengarkan lagu-lagu yang sengaja ku pasang, aku mulai merilekskan
diriku yang terasa lelah.
“Excuse me, nona.” Sapa seorang
bocah tiba-tiba, yang entah darimana datangnya. Apa dia ini tuyul yang sedang
menyamar? Tapi, kenap tuyul punya rambut?
“Ya!.” Sahutku malas dan menatap
bocah yang kuduga tuyul jadi-jadian itu. tapi untuk seekor tuyul, rasaku bocah
ini cukup manis.
“This is flower for you” ucapnya
seraya menyerahkan sebuket bunga yang entah bunga apa namanya, aku menerima
bunga itu dengan ragu seraya mempertajam tatapanku pada tuyul ini.
“Don’t look me like that!! I was
just told by a guy who likes you, nona.” Ucapnya dengan ragu-ragu. “Excused
me!” ucapnya lari dan ngicir berlari.
Pria yang menyukaiku? Siapa? Sung
Jae? Berani sekali dia mengirim bunga sialan ini. Apa dia sudah punya nyali
sekarang? Atau apa dia mau minta ku hajar lagi, dasar pria aneh. Ku akui dia
tampan, pintar dan apalah itu. Tapi, bagiku dia biasa saja. Bahka dari semua
kelebihannya yang luar biasa itu tidak ada satupun yang menarik minatku. Jadi
lebih baik, aku buang saja bunga ini. Tidak ada gunanya juga jika disimpan.
Alih-alih ingin membuang bunga ini,
aku malah meninggalkannya di bangku taman itu dan bergegas pergi. Rasanya kalau
harus membuangnya ke tong sampah, agak sedikit tidak tega, gini-gini aku juga
punya hati.
At Nhara’s Home
“Tumben cepat pulang.” Sindiran
tajam menyambutku saat aku baru melangkah masuk ke rumah.
“Bukan urusanmu!” hardikku cepat dan
berlalu meninggalkan kakakku yang menyebalkan ini.
“Kenapa adikku sayang? Mukamu jelek
sekali kalau ditekuk segiempat begitu.” Ledek kakakku seraya mengikutiku dari
belakang.
“Capek! Jadi, bisakah tidak
menggangguku malam ini saja oh kakakku sayang?” ucapku seraya membalikkan badan
menghadap kak Vino.
“Baiklah!.” Sahutnya dan berlalu
pergi, tumben sekali manusia menyebalkan itu mau menurut begitu saja.
Setelah mandi, makan dan segala
macamnya. Aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Bukannya tidur, aku
malah menghayal hingga menara kembar di Malaysia. Hm.. hari ini kenapa begitu
melelahkan padahalkan ini biasa saja. Tapi memang bukan badanku yang lelah,
melainkan hatiku.
Drrttt
drttt drttt
Ais. Siapa pula yang mengirim sms
malam-malam begini, mengganggu saja. Segera ku ambil Hpku yang terletak di
nakas meja. Privat number.
Kenapa
bunganya kau tinggal di bangku taman? Aku datang untuk mengembalikannya, bunga
itu ada di depan pintu kamarmu. Kuharap kau tidak membuangnya lagi.
Apa?
Mataku langsung membulat sempurna membaca sms itu, segera saja aku melompat
dari tempat tidurku dan beralih ke knop pintu kamarku, dan benar,buket bunga
itu sudah tergeletak manis di bawahku.
“Kak Vinoooooooooo” teriakku
histeris, berharap kakakku yang setengah tungkik itu mendengarnya dan segera
datang kemari.
“Ada apa? Kenapa teriak-teriak
seperti di hutan begitu?” ucapnya kesal. “Hei, bunga darimana itu?” lanjtunya
lagi ketika melihat sebuket bunga berada di tanganku.
“Justru itu! apa tadi ada yang
datang kemari? Bunga ini tiba-tiba saja ada di depan pintu kamarku.” Ucapku
dengan nada yang eerr aneh.
“Tidak ada yang datang….”
Blaammm
Ucapan
kakakku terhenti saat mendengar suara pintu rumah kami yang sepertinya baru
tertutup.
“Kak.. Jangan-jangan..” aku segera
ngicir menuju lantai dasar rumahku, berharap menemukan orang yang meletakkan
bunga ini di depan pintu kamarku. Dan hasilnya nihil.
“Sudahlah! Yang jelas, yang mengirim
bunga itu manusia bukannya setan. Itu lebih baik, walaupun kau tidak tahu siapa
orangnya. Simpan saja bunga itu, mungkin suatu hari nanti kau akan menemukan
pengirimnya, dan….” Ucapan kakakku terpotong begitu saja dan membuatku
penasaran. “Lupakan saja! Lebih baik kau tidur.” Lanjutnya seraya mengelus
puncak kepalaku.
Blaammm
Kubanting
pintu kamarku karena terlalu kesal dengan kejadian ini. Bunga ini? Siapa yang
mengirim? Sung Jae? Tap bisa saja dia, mengingat cerita temanku yang mengatakan
bahwa dia sangat menggilaiku. Ash, ini membuatku merinding. Bagaimaa kalau
benar dia dan dia berniat melakukan hal yang kasar padaku, karena aku sering menyakiti
hatinya? AAAHhhh
Drrttt
drtttt drttt
Sms
siapa lagi itu? Tau tidak sih aku lagi kesal? Privat number. Lagi-lagi privat number, apa sekarang sudah banyak
orang Korea yang mengidap penyakit alay?
Tidurlah!
Ini sudah malam. Jangan terlalu memikirkan aku. Suatu hari nanti aku akan
datang kepadamu dan memperbaiki semuanya. Percayalah!! Dan satu hal yang harus
kau tau, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Sudah terlalu lama aku melihatmu
dari kejauhan.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHhhhhhhhh…
DASAR PRIA SIALAN, TIDAK TAHU DIRI, MESUUUUUMMM, SOK MISTERIIUUUSSS… AWAS KALAU
NANTI BERTEMU AKAN KU PATAHKAN SEMUA TULANGMUUUU!!!!!! AWAAAAASSS KAUU YA…”
teriakku histeris setelah membaca sms sialan itu.
“NHARA! KENAPA RIBUT SEKALI. INI
SUDAH MALAM.” bentak kakakku dari luar kamar sambil menggedor-gedor pintu
kamarku.
“DIAM! BUKAN URUSAN KAKAK.” Bentakku
balik seraya melemparkan botol air kea rah pintu kamarku.
Ini benar-benar aneh. Kejadian hari
ini benar-benar aneh, dan ini semua bermula dari kedai bibimbab itu. Hae Rin
yang menggantung kalimatnya, bunga dan kak Vino. AAsshh.. apa orang ini berniat
membuatku cepat keriput? Lebih baik aku tidur saja.
At Konkuk University
Halaman depan …
“Tidak
ikut bergabung kesana?” tegur seorang senior yang diketahui bernama Hye Sun.
Yupz, Hye Sun ternyata 1 tahun lebih tua dariku dan merupaka seniorku disini.
Dan
kenapa dia berbahasa Indonesia? Karena dia belajar tentunya, dia sangat senang
menguasai berbagai bahasa asing.
“Tidak kak. Aku tidak tertarik.”
Sahutku ragu, memang sedari tadi banyak sekali segerombolan orang yang menyerbu
pintu masuk, ada yang mengatakan bahwa
ada murid baru yang sangat tampan, tapi yah.. aku tetap tidak tertarik.
“Kalau begitu, sampai jumpa.”
Ucapnya dan segera bergabung dengan kerumunan orang itu.
Aku pun melanjutkan perjalananku
yang tertunda karena orang-orang tadi.
“Hai!!” sapa seseorang yang tengah
duduk manis di bangku kelas yang biasa kududuki, dan sukses membuat mataku
membulat sempurna.
“KAU? Kenapa bisa ada disini?” tanyaku
spontan pada manusia jadi-jadian ini.
“Kau kira tempat ini milikmu? Ini
tempat umum, aku berhak berada disini.” sahutnya ketus, seraya menurunkan
kakinya yang memang tadi berada di atas meja. “Dan, carilah tempat lain! Aku
mau duduk disini!.” lanjutnya lagi.
“HAH? Seenak jidadmu saja menyuruhku
pindah! Kaulah yang seharusnya pindah! Lagipula, untuk apa kau disini?”
bentakku pada manusia yang sebenarnya kurindukan setengah mati ini.
“Kau ketinggalan informasi ya? Aku
murid baru disini. Jadi aku disini untuk belajar bukan untuk berjudi.” Balasnya
sewot, serta menampakkan smirk setan kebangsaannya.
“Kusarankan
agar kau mencari tempat duduk saja. Kurasa dosen Lee akan segera masuk.”
Tambahnya lagi. Dan tepat setelahnya, dosen tua itu pun menyembulkan kepalanya
di dalam ruangan kelasku.
“Nhara! Come here!” teriak Hae Rin
dari arah pojok ruangan. “You know him? (Kau kenal dia)” tanyanya penasaran
setelah aku berada di jangkauan matanya.
“Ya! He is my friend (Dia temanku)”
jawabku ketus. “His name is KAI” tambahku mengakhiri obrolan ini.
Pikiran lain memenuhi kepalaku saat
ini, jangan bilang kalau pusat keramaian tadi itu adalah Kai. Oh yang benar
aja! Manusia itu juga bisa popular disini. kuakui, tampangya gak jauh beda sama
pria-pria Korea yang notabenenya ganteng-gateng bangetkan, malah kalau bisa
dibilang memang wajahnya itu lebih cocok jadi orang korea daripada negera
asalnya.
Pluup..
Kertas
kecil mendarat sempurna di mejaku. Siapa sih yang iseng lempar-lempar kertas
disaat begini.
Hei!!
Apa yang kau pikirkan? Kedatanganku? Hahaha… kau merindukanku ya Nhara :p
Tanpa
perlu berpikir ratusan kali, aku sangat yakin bahwa yang melempar kertas ini
adalah teman seperjuanganku saat SMA itu, KAI.
Tanpa perlu diperintah otak, mataku
langsung menuju meja Kai, dan alangkah menyebalkannya karena dia sudah
cekikikan cekikikan tak jelas
“Rha!” senggol Hae Rin “Rha! Sung
Jae is looking you and Kai.” Ucapnya pelan, seperti berbisik. Belum habis rasa
kesalku dengan bocah tengil itu, kini malah ditambah lagi dari si pengganggu
hidupku. Oh!! Kenapa menyebalkan begini.
“Ok!! All of you, I’ll give you an
assignment, and this assignment is done in the form of groups. I’ll tell you
who is your partner. May be, next week. So, prepare yourselves!” ucap dosen Lee
di akhir penjelasannya.
“Yes sir!” balas kami serempak.
Kira-kira tugas seperti apa yang akan diberikannya? Dan siapa pula yang akan
menjadi pasrtnerku, mudah-mudahan saja orangnya menyenangkan.
“Rha! Bisa bicara sebentar?” tegur
Kai tiba-tiba, dan kali ini gayanya yang cool itu sudah kembali lagi. Cih,
dasar berkepribadian ganda. “Tidak ada kata tidak!” tegasnya lagi dengan wajah
tak ingin dibantah.
Setelah menyetujui ajakan Kai, dia
membawaku ke tempat biasa aku duduk selepas selesai kuliah, dimana lagi kalau
bukan taman belakang kampusku ini. Tapi bedanya, kali ini kami duduk di atas
rumput, dengan Kai yang sudah berbaring disana, sementara aku hanya duduk
disampingnya.
“Jadi, kau ingin bicara apa ha?”
tanyaku pada akhirnya, karena sejak sampai disini, dia sama sekali tidak
mengeluarkan suara.
“Entahlah!” jawabnya ringan.
“Ash! Kau ini benar-benar
menyebalkan…”
“sstttttt” dipotongnya ucapanku
dengan bersst ria. “Aku sedang menikmati sesuatu.” Lanjutnya.
“Menikmati apa?” tanyaku penasaran.
“Tentu saja udaranya! Kau ini bodoh
sekali.” Jawabnya ketus seraya memejamkan matanya. “Sudah berapa lama kau
disini?” tanyanya masih dengan memejamkan mata.
“Setahun yang lalu, kau?” tanyaku
balik.
“Dua hari yang lalu” Jawabnya santai
tanpa tau mataku sudah membulat sempurna. Tentu saja dia tidak tau, matanyakan
masih terpejam.
“Aku ingin bicara, kau diamlah dan
dengarkan! Anggap saja aku sedang curhat dengan temanku.” Ucapnya lagi masih
dengan mata tertutup. Kali ini Kai memperbaiki posisinya sehingga mungkn lebih
nyaman dari yang tadi.
“Kau tau tidak, bagaimana rasanya
ingin bernafas tapi tidak ada udara? Rasanya tidak mungkinkan? Karena didunia
ini selalu penuh dengan udara. Tapi, setiap orang memiliki wilayah dan
keinginan dimana dia dapat menghirup udaranya sendiri. Contohnya kau! Kau duduk
disana dan aku disini, kita masing-masing memiliki wilayah sendiri untuk
menghirup udarakan. Tapi, kau tau? Pada dasarnya udara yang kita hirup itu
sama. Jadi, kenapa kau harus jauh dariku untuk menghirup udara yang sama?” Dia
menghentikan ucapannya dan pada detik itu juga dia membuka matanya. Dan
anehnya, ketika melihat matanya, rasanya jantungku sudah berhenti.
“Kau mengerti maksudnya?” tanyanya
padaku.
“Tidak.” Ucapku jujur, karena memang
aku tidak mengerti apa maksud ucapannya itu, udara? Lalu memangnya kenapa
dengan udara. Rasanya tidak ada yang perlu dibahas. Apa dia menyindirku? karena
memang aku terlalu jauh dari posisi dia berbaring, tapikan tidak terlalu jauh.
“Bagaimana bisa kau masuk
universitas popular ini? Otakmu benar-benar dangkal. Itu saja kau tidak paham.”
Ledeknya sembari menendangkan kakinya yang memnag dapat menyentuh kakiku.
“Kau kira kau sepintar apa hah?”
ledekku balik, enak saja dia mengataiku otak dangkal. Gini-gini nilaiku
bagus-bagus.
“Yang jelas tidak sebodoh dirimu.”
Jawabnya sewot. “kurasa, kau memiliki pengagum rahasia disini!.” lanjutnya
lagi, kali ini dia menampilkan wajah serius.
“Maksudmu?” tanyaku heran.
“Pria itu? Yang dikelas tadi. Yang
tampan itu, tapi tidak setampan aku..”
Buuggh
“YAK!!
Kenapa kau melemparku dengan buku?” bentaknya tak terima.
“Karena kau terlalu pede.” Jawabku
datar.
“Ash! Kau ini benar-benar.”
Dengusnya sebal dengan tingkahku yang melemparnya dengan buku. “Aku mau pulang!
Kau membuatku badmood.” Lanjutnya dengan nada yang dibuat-buat.
“Yasudah! Kau kira aku akan
menghalangimu.” Sahutku santai dan melenggang pergi meninggalkannya yang masih
terduduk di rumput itu.
Baru saja beberapa langkah
meninggalkannya, aku harus menghadapi pria tampan yang paling mengganggu
sepanjang sejarah hidupku.
“Nhara! This is your book. You leave
it in your desk drawer.” Ucapnya seraya menyerahkan buku bersampul coklat itu.
“Ah! Thank you, Sung Jae-ssi.”
Sahutku dan mengambil buku itu. “Sorry, I’ve to go home now, excused me.”
Tambahku dan segera berlalu pergi tanpa menunggu jawabannya.
Nhara’s Room
Kalau
dipikir-pikir, aneh ya. Kenapa aku sama sekali tidak bisa menyukai Sung Jae?
Yang notabenenya, penyayang, tampan, pintar, kaya, cool dan semua hal yang
sempurna ada sama dia. Dan yang lebih aneh lagi, kenapa sampai sekarang aku
masih menyukai Kai? Rasanya benteng yang kubangun selama setahun ini hancur
sia-sia saat kembali melihatnya.
Yah Kai, pria tinggi berkulit putih,
abs dimana-mana, gaya rambut yang berantakan, tapi entah kenapa aku sangat
menyukainya, berantakan tapi keren, bukan berantakan lecek. Itu sih? Ya you
knowlah. Ah! Kai, Sung Jae? OMO!! Nhara, kenapa kau malah memikirkan Sung Jae,
pengganggu hidupmu?
Daripada memikirkan hal yang
aneh-aneh, lebih baik aku mengulang pelajaran yang tadi, berhubung aku memang
tidak memfokuskan diri dengan peljaran tadi.
“Eh!
Kertas apa ini?” batinku saat melihat ada kertas kecil yang menyelip di bukkuku.
Anganku
adalah, kau bisa menjadi salah satu kebutuhanku. Bisakah kau mengiyakan yang
satu ini?
Kuremas
secarcik kertas ini. Tidak salah lagi, ini pasti ulah Sung Jae, karena memang
dia yang terakhir memegang bukuku. Apa-apaan itu, kebutuhan? Apa maksudnya?
Bisa-bisanya pria baik-baik seperti dia mengatakan hal seperti itu. ternyata
aku salah menduga, dia tidak sepolos itu.
Tok
tok tok
Lamunanku
segera buyar mendengar ketukan pintu yang tertuju untukku.
“Formal sekali, masuk saja.”
Teriakku dari dalam kamar. “Sheina?” sahutku ketika tau siapa yang datang.
“Ini ada bingkisan untukmu. Entah
dari siapa? Disini tidak ada nama pengirimnya.” Jelasnya seraya memutar-mutar
bingkisan itu. “Nih” ucapnya lagi ketika menyodorkan bingkisan itu padaku. “Yasudah
ya!.” Dia berjala menuju pintu dan blam…
Bingkisan? Dari siapa? Segera kubuka
bingkisan itu dengan rasa penasaran yang membuncah-buncah. Dan tau apa isinya?
Sebuah boneka lumba-lumba. Bagaimana pengirim ini tau kalau aku suka boneka
lumba-lumba? Hei tunggu, ada secarcik kertas.
Kuharap
kau menyukainya.
Ini
hal terakhir yang kulakukan untuk saat ini.
Hingga
datang saatnya untuk kau mengetahui semuanya, Nhara.
Sial, si pengganggu itu lagi.
Yah, setidaknya dia sudah berkata
bahwa dia tidak akan menggangguku lagi untuk sementara waktu ini. Huh!
Syukurlah, aku hanya di ganggu selama 2 hari ini saja.
Drrttt
drrtttt drrt
Oh
hp! Kenapa kau berbunyi sekarang? Siapa ini? Privat number, oh ayolah. Bukannya
dia bilang tidak akan menggangguku lagi.
Tapi,
jangan harap aku akan melepaskan tatapanku darimu.
Kau
selalu berada dalam jarak pandangku, Nhara.
Sudah
ku katakan, kau tidak akan ku lepas… lagi.
Sebenarnya,
aku sangat risih dengan orang ini. Bisa kusimpulkan, bahwa orang ini memang
dekat denganku, dan dia ada dimanapun aku berada, atau jangan-jangan dia juga
berada di kamarku ini. AH! Tidak-tidak. Tidak mungkin dia gila berani masuk ke
kamar seorang gadis, kemana harga dirinya itu?
Aku sungguh penasaran dengan orang
ini, semua sasaranku telah kutujukan pada Sung Jae, pria yang memang menyukaiku
itu. Tapi, kenapa aku belum cukup yakin. AH! Lebih baik, aku mengumpulkan semua
bukti dan meyakinkan diriku sendiri sebelum melabraknya secara terang-terangan.
Rasanya, aku memang harus
membuntutinya sepanjang hari. Kalau hanya dengan begitu caranya, ya baiklah.
Tapi, aku membutuhkan seorang partner. Hae Rin? Ah tidak, dia terlalu banyak
bicara. Bagaimana dengan Kai? Hmm.. ide bagus! Sekalian aku mendapat kesempatan
berdua dengannya.
Tiiiiiitttttttttttttt
tiiitttttttttt
“Hallo,
who are you?”
“Kai,
ini aku Nhara.”
“Hm
kau! Ada apa? Merindukanku?”
“Tidak!
Aku ingin meminta bantuanmu?”
“Bantuan
seperti apa?”
“Kegiatan
seperti detektif, kau maukan? Ayolah! Menolong teman itu berpahala.”
“Tau
apa kau soal pahala?”
“Assh!
Kau mau menolong atau tidak?
“Ya
baiklah! Besok di sungai Han jam 9 pagi kalau memang niat meminta tolong dengan
ku.”
Ttiiitt
tiiitt tiiitttttttt
“AAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGHHH!!!!
DASAR MENYEBALKAN! BERANINYA KAU MEMUTUSKAN TELPON SAAT AKU BELUM SELESAI
BICARA. AWAS KAU KAI.”
“Nhara! Kecilkan suaramu.” Bentak
ibuku dari luar.
“Bagaimana bisa aku menyukai pria
seperti dia? Pria menyebalkan.” Umpatku kesal dengan tingkah Kai yang benar
benar akwarrkwk.
Han River at 08.57 A.M
“Kubilang
datang jam berapa hah?”
“Akukan tidak terlambat, kenapa kau
marah-marah? Masih ada 3 menit dari perjanjian awal.” Sungutku tak terima. Aku
baru saja sampai beberapa detik yang lalu, dan akukan memang tidak terlambat.
Kenapa dia mesti marah?
“Setidaknya kau jangan membuatku
menunggu!” semprotnya balik. “Jadi kau mau minta bantuan seperti apa hah?”
lanjutnya.
“Ah! Ini. Aku mau membuntuti
seseorang, dan aku membutuhkan seorang partner. Kau bersediakan?” tanyaku
dengan harapan dia mengiyakan permintaan itu.
“APA? Jadi sekarang kau mulai jadi
penguntit? Aku tidak mau!” balasnya dengan gusar dan melenggang pergi.
Segera kutahan tangannya agar
langkahnya tidak semakin jauh. “Ku mohon. Bantu aku Kai. Beberapa hari ini ada
seseorang yang membuatku penasaran?.” Lanjutku, kali ini penuh dengan nada
mengharap. Seketika itu juga, Kai menghentikan langkahnya dan membalikkan
badannya menghadapku.
“Seseorang? Maksudmu?” tanyanya
heran seraya menatap mataku tajam, sungguh, matanya benar-benar menusuk, penuh
intimidasi.
“Iya, beberapa hari ini ada
seseorang yang mengirimiku hadiah dan beberapa pesan aneh. Aku penasaran dengan
orang ini. Dan aku sudah punya tersangkanya. Hanya saja, aku tidak yakin. Untuk
itulah aku ingin membuntutinya.” Jelasku.
Entah perasaanku saja atau memang
benar, Kai kelihatannya tertarik dengan apa yang barusan kuceritakan. “Lalu?
Siapa yang kau curigai?” tanyanya heran, kali ini wajahnya tidak seketat yang
tadi. Tapi seringaian aneh muncul di sudut bibirnya.
“Eum.. memang sedikit aneh. Tapi aku
mencurigai Sung … Sung Jae.” Ucapku ragu.
Kai menatapku dengan tatapan “yang benar saja”. Dia mengangkat sebelah
alisnya dan semakin memainkan smirknya. Untuk beberapa saat dia mempertahankan
posisinya seperti itu.
“Baiklah! Kedengarannya aku mulai
tertarik untuk membantu.” Jawabnya santai.
Kai’s Car
Dari beberapa menit yang lalu, kami
telah meninggalkan sungai Han. Dan kini kami tengah berada di jalan besar kota
Seoul. Hari ini aku sengaja tidak membawa mobil, karena aku yakin partnerku ini
juga membawa mobil. Jadi kupikir, memang lebih baik 1 mobil saja untuk
memata-matai seseorang.
“Ehm!! Boleh bertanya sesuatu?”
tanya Kai tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangangannya dari jalanan.
“Ya, kau mau menanyakan soal apa?”
tanyaku balik.
“ Kau. Bagaimana bisa kau mencurigai
Sung Jae? Apa tidak ada orang lain yang bisa kau curigai selain dia?” tanyanya
heran.
“Karena setauku, dia sangat menyukaiku.
Kan mungkin saja kalau dia yang melakukan semuanya.” Jelasku asal.
Kai lalu sekilas menatapku tajam,
bahkan lebih tajam daripada yang tadi. Aku sendiri tidak mengerti perubahan
ekspresinya yang begitu cepat.
“Nhara! Kalau nanti kau menemukan
orang yang mengirimimu hadiah-hadiah itu. Apa yang akan kau lakukan? Apa kau
akan menyukainya?” tanyanya lagi, tapi entah kenapa aku mendengar Kai
mengucapkannya dengan nada pilu.
Aku mengedikkan bahu dan terlihat
tidak terlalu perduli. “Entahlah Kai.”
“Kai! Stop stop!.” Ucapku spontan
begitu melihat Sung Jae berada di toko bunga.
“Ada apa?” tanyanya heran dan
mengikuti arah pandangku, seolah mengerti, dia mulai mendekatkan mobilnya ke
toko bunga tersebut.
“Untuk apa dia membeli bunga?”
gumamku sendiri seraya terus mengamatinya. “Itu? Bukannya bunga itu sama persis
dengan bunga yang kemarin?” gumamku lagi. “Tidak salah lagi!.” Seruku senang.
“Jangan terlalu cepat mengambil
keputusan. Bagaimana kalau itu bukan untukmu?” ujar Kai menjawab gumamanku.
Tapi, ada benarnya juga si setan manis ini.
Nhara’s Home
“Mama,
Ayah, Kakak, Sheina… Nhara pulaaanngggg!!.” seruku lesu seraya berjalan masuk
ke dalam rumah.
Aku langsung saja berjalan ke ruang
makan untuk mengisi lambung-lambungku yang kosong ini. Kenapa ku bilang
lambung-lambung? Karena lambungku memiliki laci-laci kosong di dalamnya.
“Hoa… lezatnya.”
Mataku berbinar cemerlang begitu
melihat makanan-makanan yang sudah lama tidak terlihat oleh mataku; dendeng
sapi, tauco, sate ayam kuah kacang, ada rujak, es kelapa dan masih banyak lagi.
“Apa ada pesta besar?” tanyaku
terlebih pada diri sendiri, sebab hanya aku yang berada di ruangan itu.
“Hanya jamuan makan malam.” sahut
suara yang menjawab pertanyaanku.
Segera aku menolehkan kepalaku ke
sumber suara. “Kak Vino? Siapa yang datang?”
“Teman ayah. Kenapa mukamu kusut
sekali tadi ha? Apa ada masalah?” tanyanya balik seraya mengambil tempat di
kursi yang lain. “Makanlah! Akan kakak temani.”
“Hmm.. iya. Aku tadi pulang naik
bis.” Jawabku kesal.
“Bukannya tadi kau bilang, kau akan
diantar temanmu sampai rumah?” tanyanya heran.
“Tadinya seperti itu, tapi dia
tiba-tiba saja bilang kalau dia ada acara yang dia lupakan. Bukankah itu sangat
menyebalkan?” gerutuku kesal seraya menempatkan nasi ke piringku.
“Maklumilah! Mana tau dia berkata
jujur. Setidaknya, dia sudah baik mau menemanimu seharian ini.” Ucap kakakku
memberi nasehat. Yah, benar juga sih.
“Kurasa.”
Nhara’s Room
Sudah menemukan apa yang kau cari?
Begitulah
pesan singkat yang dikirimkan oleh si privat number itu. Dia memang tidak
menggangguku dengan hadiah-hadiah itu. Tapi, smsnya itu tidak pernah berhenti. Belum
lagi, darimana dia tahu bahwa aku sedang mencari tahu sesuatu. Dan itu semua
itu berkaitan dengannya.
Bagaimana
kalau kita main tebak-tebakan saja? Rasanya itu akan menyenangkan. Lagipula,
ini akan lebih berguna daripada kau terus membuntuti orang yang kau curigai.
Sms
kedua darinya, dan sepertinya aku tertarik dengan hal ini. Dengan tebak-tebakan
aku akan menemukan pria ini. Pasti.
Aku
tau kau setuju! Mulai sekarang aku akan memberikan clue untukmu. Setiap jam
05.30 AM.
Dasar
pria gila, bagaimana bisa dia membuat ini menjadi sebuah permainan. Dia kira
hatiku bisa dipermainkan. Dasar tidak ada otak. Pria macam apa ini ? melebihi
setan. Rasaku dia ini iblis atau mungkin raja setan.
Lebih baik aku tidur dan menormalkan
kembali jalan pikiranku.
At 05.30 in Nhara’s Room
Kau tak pernah memperdulikanku
selama ini.
Aku
sengaja bangun pagi untuk membaca clue darinya, dan hal itu jauh dari dugaanku.
Ku kira dia akan memberikan cirri-ciri fisik dirinya, dan ternyata dia malah
memberikan hal semacam itu, kalau begini aku harus berpikir dan menebak secara
gamblang.
Baiklah! Siapa selama ini yang aku
tak perdulikan? Hm.. ash! Kebanyakan dari orang yang kukenal memang tidak
terlalu aku pikirkan. Jadi bagaimana aku menemukan orang ini? Bahkan mengenal
diriku sendiri saja terkadang aku tidak ingat. Apalagi orang lain?
Kalau orang ini sampai beranggapan
aku tidak memperdulikannya. Bukankah itu berarti dia sangat memperdulikanku?
Bahkan sampai dia menganggap semua yang dia lakukan untukku itu tidak pernah
aku perdulikan. Tapi, siapa dia?
“Nhara!! Ayo turun dan sarapan.”
Suara mamaku memecah lamunanku yang tak berujung.
“Iya Ma, sebentar lagi.” Sahutku.
“Ck, kenapa jadi beban pikiran begini.” Decakku gusar seraya bangkit dari
tempat tidur menuju kamar mandi.
At Konkuk University
In The Canteen
“Minum
dulu! Kau terlihat tidak sehat.” Seru Kai padaku seraya menyodorkan segelas teh
hangat.
“Aku sehat. Kai, aku ingin bertanya
padamu.” Sergahku seraya mengambil
minuman tersebut.
“Oh! Baiklah.” Jawabnya pasrah. “Apa
yang ingin kau tanyakan?” lanjutnya.
“Apa aku terlihat kurang
memperdulikan orang lain?” tanyaku langsung tanpa ada basa-basi. “Dan, apa
kau juga tidak kuperdulikan? Lalu,
bagaimana sikapku padamu, dan orang lain?” tambahku.
Kai menghela nafas berat sebelum
menjawab. “Kau. Kau bukannya kurang, kau bahkan sama sekali tidak perduli
dengan orang lain.” Ucapnya ragu. “Sikapmu padaku tentu saja begitu, kau tidak
perduli denganku, bahkan kehadiranku saja kau tidak tahu. Apalagi orang lain,
kurasa jika ada orang yang mati di depanmu, kau juga tidak akan perduli.”
Jelasnya seraya menyeruput minumannya.
“Kedengarannya terlalu keji. Aku
tidak seperti itu.” elakku membela diri. “Tapi kurasa kau punya teori sendiri
tentang diriku, benar tidak. Mengingat kau adalah orang yang memiliki sudut
pandang yang berbeda dari orang lain.” Lanjutku.
“Benar! Aku punya teori sendiri
tentangmu. Dan hanya aku yang tahu.” Jawabnya misterius dengan tatapa mata yang
kali ini sangat-sangat tajam dan penuh intimidasi, dan… eum hasrat.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?
Inikan soal diriku. Apa salahnya aku tahu?” ucapku tak terima.
“1 dari 3 yang kau tahu. 2 dari 3
yang kau tidak tahu.” Jelasnya mengakhiri percakapan, sebelum akhirnya dia
pergi meninggalkanku sendiri.
“Kai, apa maksudmu? Kenapa kau
memberi teka-teki lain? Taukah kau kalau aku masih punya teka-teki yang belum
bisa ku pecahkan?” gumamku pada diri sendiri.
In The Class
Hari
ini dosen Park yang masuk dengan pembahasan ekonomi daerah. Beruntungnya kali
ini aku dapat menyimak setiap pelajaran yang dia berikan, tidak seperti
beberapa hari ini, pikiranku selalu ngelantur entah kemana.
“Permisi!.” Itu suara dosen Lee. Dia
sepertinya membicarakan sesuatu dengan dosen park. “Ah terima kasih.” Ucap
dosen Lee setelah dosen park mengangguk.
“Baiklah! Seperti janji saya, saya
akan membacakan partner kalian untuk tugas kali ini. Kang Sung Jae bersama Kim
Hae Rin, Goo Jun Hee bersama Lee Dong Hoo, Nhara Fradella bersama Kai Valery
…………….” Lanjut dosen lee.
Mataku membulat sempurna mendengar
nama partnerku sendiri. Seharusnya aku senang, karena akan mudah mengerjakan
tugas bersama orang yang sudah dekat dengan kita. Tapi, masalahnya. Aku agak
sedikit canggung dengannya setelah kejadian tadi.
Dengan ragu aku melirik ke arah
bangkunya.
“Ah sial!.” Umpatku kecil.
Dia juga sedang melihatku, dan yang
lebih mengesalkan lagi, tatapa matanya tidak melembut sedikitpun. “Kalau
begini, aku harus meminta bertukar partner.”
“Ini sudah keputusan saya. Dan
kalian tidak berhak untuk meminta bertukar partner.” Ucap dosen Lee seakan
mendengar jalan pikiranku barusan, oh dasar menyebalkan.
In tha Garden
“Hai Nhara!!.” Sapa seseorang.
Segera ku tolehkan kepalaku kea rah
sipenyapa.
“Oh, Hai Kai!” lega rasanya dia
sudah melembutkan tatapan matanya kembali.
“Aku minta maaf meninggalkanmu
seperti tadi.” Ucapnya lagi seraya mengambil tempat disisiku.
Aku menggeleng. “Tidak masalah.”
Ucapku sambil tersenyum.
“Jadi bagaimana tugas kita,
partner?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada menggoda.
“Kurasa kita bisa memulainya besok.”
Ucapku mantap, dan diiyakan olehnya.
Keesokan harinya, at 05.30 AM
Kau
adalah salah satu bagian kebutuhan untukku bertahan hidup. Kekurangan beberapa
detik saja, dapat membunuhku.
Baiklah,
itu adalah clue kedua. Dan aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya,
kebutuhannya? Mana ku tahu apa yang menjadi kebutuhannya.
Lebih baik, aku mencatat semua clue
yang ada. Lalu setelah banyak baru bisa ku simpulkan. Permainan ini sangat
menyebalkan. Aku merasa seperti pihak yang dirugikan.
Drrtt drtttt
Oh shit!! Sms siapa lagi itu?
Nhara,
aku di depan pintu kamarmu.
Mataku
sukses membulat mmbaca sms singkat dari si raja setan badung mesum kurang asam
ini, dan apa katanya? Depan pintu kamar? Ck, apa tidak ada satupun orang rumah
ini yang melarangnya berdiri di depan pintu kamar putri cantik sepertiku.
Took
toookkk took
“Sebentar!!!”
teriakku sekeras mungkin. Berharap si setan itu mendengar.
Aiishh, aku belum bersiap siap,mandi
juga belum. Inikan masih terlalu pagi, aku mau melanjutkan tidur, ah! Biarlah
dia menunggu, toh pintunya juga dikunci.
“Nhara!! Buka pintunya!! Atau aku
akan mendobrak pintu kamarmu sampai rusak, aku tidak perduli kau masih tidur
atau sudah bangun, kuhitung sampai 3, 1 …“ ancamnya, dan sukses membuatku
lompat dari tempat tidur.
“Ah! Celana training celana
training.” Aku sibuk membongkar lemariku untuk menemukan pakaian yang pantas
untuk menemuinya.
“2…” teriaknya lagi “Tiiii….”
Lanjutnya.
Braaak….
“APA?” ucapku sewot begitu kubuka
pintu kamarku itu.
Dia tidak menjawab, dan sebagai
gantinya malah melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan detail.
“Apa lihat-lihat?” sahutku merasa
risih di perhatikan seperti itu.
“Tidak ada!!” jawabnya datar masih
dengan memperhatikanku.
“Kau ada otak tidak sih? Ini jam
berapa? Untuk apa kau datang kerumahku dan berdiri di depan pintu kamarku jam
segini haaah?” sungutku geram.
“Salahmu sendiri! Kau sendiri yang
bilang kita mengerjakan tugas kelompok itu hari ini, tapi kau tidak memberitahu
jamnya berapa, jadi supaya tidak terlambat, aku datang jam segini.” Jawabnya
santai. “Ini kamarmu? Boleh aku masuk?” tanyanya lagi.
“Ha? Tidak boleh? Ini kamar seorang
gadis. Kau tidak tahu malu atau bagaimana ha? Sudah datang pagi buta dan
sekarang meminta masuk ke kamarku?” jawabku sewot seraya melipat tanganku di
depan dada.
“Biarkan saja, toh dia tidak
mengganggumukan? Sudah bagus dia berniat mengerjakan tugas kelompok itu, dia
sudah disini dari jam 5 tadi. Dia pasti mengantuk, suruh dia istirahat, dan kau
Nhara, sebaiknya mengerjakan tugasmu di rumah sebelum pergi.” Sahut kakakku
Vino, yang tiba-tiba muncul.
“Tapi kak?”
“Tidak ada tapi-tapian sayang.”
Ucapnya dan berlalu pergi seraya menepuk pundak Kai.
In the Café, at 09.30 A.M
Sudah dari setengah jam yang lalu,
aku dan Kai duduk di café ini sambil membaca buku untuk tugas kelompok ini,
tapi otakku menolak semua kalimat yang sudah kubaca, ku lirik Kai sekilas,
sepertinya dia sangat serius memahami buku tebal itu.
Dari pada kepalaku pusing karena
buku itu, mending searching aja. Mencari informasi bukan hanya dari bukukan?
Ide bagus Nhara.
“Percuma kau mencari di internet
kalau pikiranmu sama sekali bukan untuk tugas ini.” Sindirnya tanpa mengalihkan
matanya dari buku itu.
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.
“Maksudku, pikiranmu sedang tidak
disini.” Jawabnya sambil menutup bukunya. Dan membuatku tercenang, bagaimana
dia tahu?
“Bagaimana kalau begini saja! Aku
yang kerjakan tugas ini sampai selesai, dan kau hanya menemaniku saat
mengerjakan tugas ini. Karena aku tidak mau tugas ini hasilnya jelek hanya
karena kau tidak serius, Nhara.” Lanjutnya lagi.
“Kau benar! Lebih baik seperti itu.”
jawabku lesu.
Drrrttt drttt drttt
Sms siapa sih? Mengganggu saja.
Nhara!
Kau kacau, kau tidak perlu memikirkan tentang siapa aku. Karena pada akhirnya
kau memang akan tahu, tidak perduli kau dapat menerima atau tidak.
Entah
kenapa, tanganku gatal untuk membalas pesan itu.
Kalau
memang kau tidak ingin melihatku kacau, seperti yang kau katakan. Kenapa kau
tidak memberitahuku siapa dirimu?
Tidak lama setelah itu, drrrttt
drrrtttt
Karena
belum saatnya!
“Sial!!.” Umpatku kesal.
“Kau kenapa? Mulai kehilangan
kewarasan?” ledek Kai dengan nada yang dibat-buat.
“Kai, kau tahu?” ujarku datar.
“Apa?” balasnya heran.
“Aku tidak akan mengikuti Sung Jae
lagi, kurasa bukan dia orangnya, dan aku yakin itu. Apa kau berpikir orang yang
mengirimiku pesan ini sangat menyayangiku?” tanyaku blak blakan pada Kai.
“Kau bicara apa ha? Kurasa kau
sakit.”
At Kai’s Apartement
09.00 PM
Untuk
beberapa hari ini, aku menginap di apartement Kai. Herannya, orang tuaku
menyetujuinya begitu saja. Biasanya, untuk sekedar menginap dirumah teman
perempuanku saja tidak bisa, ini? Di apartement seorang pria? Dasar aneh.
Bukankah lebih berbahaya kalau disini?
Aku disini hanya untuk sebatas kerja
kelompok saja. Yaa, sesuai kesepakatan bersama, dia yang mngerjakan aku yang
menemani.
Kai sedang sibuk dengan buku, laptop
dan beberapa kertas printnan yang berisi beberapa hipotesis kami, kelihatan
sangat serius. Aku tidak pernah tahu kalau dia bisa seserius itu, yang kutahu
dia itu jail, suka seenaknya, dan terkesan gila. Tapi, untuk kali ini, semua
pemikiranku tentangnya jadi berbeda.
Aku sendiri, sedang duduk di sofa
yang dikelilingi beberapa makanan ringan.
“Kau bisa tidur duluan kalau kau
mau.” Ucapnya datar tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Tidak! Sesuai kesepakatan, kau
mengerjakan aku menemani.” Jawabku dengan nada tidak ada bantahan.
“Terserah!” jawabnya dan melanjutkan
pekerjaannya.
Sepanjang Kai mengerjakan tugas, aku
hanya diam menikmati cemilan yang ada. Hm… kurasa tidak begitu juga. aku bahkan
lebih focus menatapnya daripada menatap cemilan ini.
“Kapan kau berhenti menatapku
begitu?”
“Eh…” jawabku kikuk.
“Kau ini, membuyarkan konsentrasiku
saja.” Sungutnya kesal.
“kau saja yang tidak bisa
berkonsentrasi.” Godaku balik.
“Bagaimana bisa kau mengatakan
itu? aku hampir menyelesaikan setengah
dari tugas yang seharusnya dikerjakan oleh 2 orang.” Sergahnya tak terima
seraya menutup buku yang sedang jadi bahan penelitian itu.
“Tentu saja bisa. Aku bahkan yakin,
kau kehilagan konsentrasi karena berada dekat dengan putri cantik sepertiku,
benarkan? Akui sajalah Kai Vallery!” godaku lagi.
“Ash, kau ini benar-benar kepedean.”
Sungutnya kesal seraya melanjutkan kembali tugasnya.
Sekembalinya Kai dengan buku buku
ilmiah itu, aku juga turut kembali dalam dunia imajinasiku, mengkhayal itu
memang indah. Disana aku bisa menjadi apa yang menjadi impianku tanpa harus
susah susah berjuang, dan disana akulah pemeran utamanya.
Rasanya aku sangat kelelalahan dan
mengantuk, tapi apa yang kulakukan? Aku hanya duduk diam menemaninya
mengerjakaan tugas itu. Segera kulirik jam yang bertengger manis di dinding
yang menunjukkan sudah pukul 12 a.m, tengah malam ternyata, pantas saja aku
mengantuk.
Kualihkan pandanganku pada Kai, dia
masih sangat serius dengan tugas-tugas itu. aku pasti akan menjadi sasaran
kebuasannya kalau sampai aku mengganggunya lagi, lebih baik kuurungkan saja
niatku untuk menyuruhnya berhenti mengerjakan tugas itu. ini sudah malam, aku
tidak mau dia sakit gara-gara ini, terlebih lagi aku akan merasa bersalah
karena tidak ikut serta mengerjakan tugas kelompok ini.
“Kau kenapa? Mengantuk?” ujarnya
tiba-tiba
“Engg, Kai. Kau tidak lelah? Kau
sudah mengerjakannya dari tadi, lebih baik kau istirahat saja.” Ucapku gugup.
“Lalu, kau yang akan melanjutkan
tugas ini? Begitu?” tanyanya balik seraya menatap lekat mataku disertai
senyuman setannya itu.
“Akukan hanya khawatir kalau nanti
kau sakit, dan kau malah mempermainkanku begitu. Yasudah, terserahmu saja. Aku
mau tidur.” Ucapku sewot.
Dasar bocah tidak tahu diri, sudah
untung aku masih berbaik hati mengkhawatirkannya.
“Nhara!” panggilnya seraya menahan
tanganku.
“Apa lagi?” tanyaku sinis setelah
membalikkan badan menghadapnya.
“Terima kasih.” Ujarnya manis seraya
tersenyum.
“Buat apa?”
“Sudah mengkhawatirkanku.” Ucapnya
lagi seraya mengacak pelan rambutku. “Kalau begitu, selamat tidur Na~ya.” Lanjutnya seraya membalikkan badanku.
to be continued...